Di dalam Pasal 1 angka 26 di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana saksi didefinisikan sebagai :
"Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia Iihat sendiri dan ia alami sendiri".
Kemudian didalam Pasal 1 angka 27 disebutkan pula :
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, Ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.
Lalu apakah seorang saksi yang tidak mendengar sendiri, melihat sendiri dan mengalami sendiri dapat disebut sebagai saksi ?
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 atas uji materi KUHAP. menyebutkan bahwa definisi saksi juga termasuk orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, tetapi juga setiap orang yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana wajib didengar sebagai saksi demi keadilan dan keseimbangan penyidik yang berhadapan dengan tersangka/terdakwa.
Mahkamah Konstitusi menilai pengertian saksi yang menguntungkan dalam Pasal 65 KUHAP tidak dapat ditafsirkan secara sempit dengan mengacu Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP. Sebab, arti penting saksi bukan terletak pada apa yang dilihat, didengar, atau dialami sendiri peristiwa pidana, melainkan relevansi kesaksiannya.
Definisi saksi yang menguntungkan yang diatur Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) KUHAP tidak harus dikualifikasikan sebagai orang yang melihat, mendengar, mengalami sendiri suatu peristiwa pidana seperti diatur dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP.
Didalam Pasal 65 KUHAP disebutkan pula bahwa :
"Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya".
Kemudian di Pasal 116 ayat (3) disebutkan bahwa :
Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara.
Kemudian di Pasal 116 ayat (4) disebutkan bahwa :
Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut.
Sehingga, Seorang tersangka berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, dapat menghadirkan saksi yang dapat menguntungkan dirinya, walaupun saksi tersebut tidak melihat, mendengar dan mengalami sendiri suatu tindak pidana, namun seorang penyidik wajib melihat relevansi kesaksiannya.
Mahkamah Konstitusi menilai pengertian saksi yang menguntungkan dalam Pasal 65 KUHAP tidak dapat ditafsirkan secara sempit dengan mengacu Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP. Sebab, arti penting saksi bukan terletak pada apa yang dilihat, didengar, atau dialami sendiri peristiwa pidana, melainkan relevansi kesaksiannya.
Definisi saksi yang menguntungkan yang diatur Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) KUHAP tidak harus dikualifikasikan sebagai orang yang melihat, mendengar, mengalami sendiri suatu peristiwa pidana seperti diatur dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP.
Didalam Pasal 65 KUHAP disebutkan pula bahwa :
"Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya".
Kemudian di Pasal 116 ayat (3) disebutkan bahwa :
Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara.
Kemudian di Pasal 116 ayat (4) disebutkan bahwa :
Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut.
Sehingga, Seorang tersangka berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, dapat menghadirkan saksi yang dapat menguntungkan dirinya, walaupun saksi tersebut tidak melihat, mendengar dan mengalami sendiri suatu tindak pidana, namun seorang penyidik wajib melihat relevansi kesaksiannya.
Sebagai contoh, misalkan jika saksi ternyata mendengar dan melihat suatu kejadian pidana tidak secara langsung namun melalui rekaman suara atau rekaman gambar, selama rekaman suara dan gambar tersebut dapat dibuktikan ternyata otentik maka saksi yang tidak mendengar secara langsung dan melihat dan mengalami secara langsung tersebut, maka dapat dikualifikasikan sebagai saksi.
Begitu juga seorang saksi yang membuat sebuah kebijakan, namun saksi tersebut tidak melihat, mendengar dan mengalami suatu dugaan tindak pidana maka dapat dihadirkan sebagai saksi.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, maka definisi saksi bukan hanya saksi fakta namun saksi alibi pun dapat diperdengarkan kesaksiannya dalam proses penyidikan dan persidangan.
Dalam Putusannya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelfa mengatakan bahwa :
Menegasikan hak tersangka/terdakwa untuk mengajukan saksi/ahli yang menguntungkan dalam tahap penyidikan dan hanya memanggil saksi yang menguntungkan di proses persidangan saja merupakan pelanggaran terhadap Pasal 1 angka (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Anda membutuhkan Pengacara ? Kontak kami di SMS/WA/LINE : 0813.17.906.136