Apa yang seharusnya dilakukan jika ternyata mobil atau motor anda yang masih anda kredit diambil secara paksa oleh debt collector karena anda telat membayar untuk beberapa bulan ? jika anda mengalaminya silahkan konsultasikan langkah hukumnya dengan kami.
-
Officium Noblie
Advokat adalah profesi mulia
-
Fiat Justitia Ruat Coelum
"Hendaklah Keadilan ditegakan, walaupun langit akan runtuh"
-
Fiat Justitia et Pereat Mundus
"Hendaklah keadilan ditegakan, walaupun dunia harus binasa"
-
Presumption of Innocence
"Praduga tidak bersalah, adalah azas dimana seseorang dinyatakan tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan bersalah"
-
Unus Testis Nullus Testis
"Adalah asas yang menolak kesaksian keterangan dari satu orang saksi saja"
Makalah Kejahatan Cyber Crime Kasus Pembobolan Kartu Kredit
Makalah Kejahatan Cyber Crime Kasus Pembobolan Kartu Kredit
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dengan
semakin canggihnya teknologi informasi, maka semakin banyak juga kejahatan yang
terjadi melalui media siber. Menurut data dari Ditreskrimsus Polda Metro Jaya
terdapat 537 kasus kejahatan siber (cyber crime) pada tahun
2016. Kejahatan tersebut antara lain kasus penjualan anak, protistusi dan
kejahatan lainnya.
Dalam
upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan Cyber Crime ini, POLDA Metro Jaya
melakukan patroli siber untuk mencegah kejahatan di dunia maya. Khususnya yang
melibatkan anak-anak. (Republika, 3 Juni 2016).[1]
Salah
satu kejahatan dalam dunia siber adalah kasus pembobolan kartu kredit, untuk
melakukan penelusuran dalam kasus pembobolan kartu kredit ini terkadang Polisi
sendiri sangat kesulitan karena sebagaimana dikatakan oleh Kepala Unit
Perbankan Direktorat Tindak Pidana Khusus Badan Reserse Kriminal Mabes Polri,
Komisaris Besar Djoko Purbohadijoyo mengatakan Indonesia saat ini sangat minim
regulasi untuk mengantisipasi kejahatan seperti ini karena menurutnya adalah
dalam upaya untuk menangkap pelaku pembobolan terutama orang asing adalah
karena berkaitan dengan kedaulatan negara, walaupun ada kerja sama antar
kepolisan. Tapi tetap harus meminta izin jika ingin memproses penjahat di
negara lain [2]
Berdasarkan data peringkat
pembobolan kartu kredit di Indonesia masih berada pada posisi kedua terendah
dibandingkan negara lain di wilayah Asia Pasifik. Sedangkan berdasarkan data
Visa, peringkat fraud Indonesia berada pada posisi ketiga terendah dibandingkan
dengan negara lain di Asia Tenggara.
Data terakhir Bank Indonesia
(BI) sebagai otoritas moneter mencatat, pada bulan Mei 2013 saja, tercatat
telah terjadi 1.009 kasus pembobolan (fraud) yang dilaporkan dengan nilai
kerugian mencapai Rp 2,37 miliar.[3]
1.1 Tujuan
Adapun tujuan dari Makalah ini adalah
untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum terhadap kejaharan siber di bidang
pembajakan kartu kredit.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Kejahatan Siber
Andi Hamzah dalam bukunya “Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer” (1989) mengartikan cybercrime sebagai kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal.
Forester dan Morrison mendefinisikan
kejahatan komputer sebagai: aksi kriminal dimana komputer digunakan sebagai
senjata utama.
Girasa (2002)
mendefinisikan cybercrime sebagai : aksi kejahatan yang menggunakan teknologi
komputer sebagai komponen utama.
Tavani (2000)
memberikan definisi cybercrime yang lebih menarik, yaitu: kejahatan dimana
tindakan kriminal hanya bisa dilakukan dengan menggunakan teknologi cyber dan
terjadi di dunia cyber.
Polda Metro Jaya telah berhasil menangkap empat pelaku pembobolan kartu kredit beromset miliaran rupiah, pada Jumat 20 Juni 2016, bertempat di kantor PT Indosat Ooredo, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Para pelaku sudah melakukan aksi tersebut sejak tahun
2014 dengan jumlah korban mencapai ribuan orang, menurut keterangan Penyidik
Unit IV Subdit IV Cyber Crime Ditreskrimsus.
Menurut data yang diperoleh terdapat setidaknya lebih
dari 1.600 orang korban dan kerugian sampai dengan 5 miliar rupiah.
Modus yang dilakukan oleh para tersangka, yaitu GS, A, AH
dan PSS dengan melakukan pemalsuan identitas KTP untuk mengganti nomor ponsel yang terdaftar di M-Banking para
korban, sehingga bisa melakukan transaksi dan membuat kartu kredit dengan data palsu.
Tersangka PSS ditangkap pertama kali di kantor provider
saat berniat untuk mengubah nomor ponsel korban.
Dalam kejahatan pembobolan kartu kredit ini terkadang
melibatkan orang dalam sebagaimana salah satu pelaku adalah bekerja menjadi
marketing bank. Oknum marketing Bank inilah yang kemudian mencuri informasi
nasabah untuk melakukan aksi pembobolan kartu kredit. Pihak marketing bank ini
mendapatkan data-data nasabah dari usahanya melakukan penawaran di pusat-pusat
perbelanjaan.
Dari tangan para pelaku, polisi mendapatkan barang bukti
berupa dua unit laptop, 16 telepon seluler, tujuh KTP palsu, dua foto kopi KTP palsu, dan lima kartu telepon seluler. Polisi juga menyita sejumlah kartu ATM dari
berbagai bank.
2.3 Tuntutan Pidana
Pembobolan Kartu Kredit
Berdasarkan informasi, para pelaku pembobolan kartu
keredit tersebut dikenakan pasal berlapis antara lain, Pasal 263 KUHP tentang
pemalsuan surat dengan ancaman penjara enam tahun.
Adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Barang
siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu
hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti
daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai
surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika
pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan
pidana penjara paling lama enam tahun.
(2) Diancam
dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau
yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan
kerugian.
R Soesilo
dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 195) mengatakan bahwa
yang diartikan dengan surat dalam bab ini adalah segala surat, baik yang
ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik, dan
lain-lainnya.[4]
Selain itu, pelaku juga diancam melanggar Undang-Undang
Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang, yakni Pasal 3, 4, dan 5.
Pasal 3 Undang-undang tersebut berisi ancaman penjara 20
tahun dengan denda Rp10 miliar.
Sementara Pasal 4, berisi ancaman penjara 20 tahun dengan
denda Rp5 miliar. Sedangkan, Pasal 5 undang-undang itu berisi ancaman penjata 5
tahun dengan denda Rp1 miliar.[5]
Jika melihat kasus diatas, kejahatan pembobolan kartu
kredit bisa juga dikenakan Pasal yang terdapat dalam UU No 11 Tahun 2008
Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik yaitu Pasal 30 ayat 1, Pasal 36,
Pasal 46 ayat 1 dan Pasal 51 ayat 2.[6]
Adapun bunyi dari Pasal 30 ayat 1 UU ITE adalah sebagai
berikut :
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan
hukum
mengakses Komputer
dan/atau Sistem Elektronik milik Orang
lain dengan cara apa pun”.
Pasal 36 UU ITE :
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa
hak atau melawan hukum melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal
27 sampai dengan Pasal
34 yang mengakibatkan
kerugian bagi Orang lain”.
Pasal 46 ayat 1 UU ITE :
“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.
Pasal 51 ayat 2
UU ITE :
“Setiap Orang yang memenuhi
unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
dipidana dengan pidana penjara paling
lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua
belas miliar rupiah)”.
Adapun bunyi
dari Pasal 35 UU ITE adalah sebagai berikut :
“Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data
yang otentik”.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Tindak pidana pembobolan kartu
kredit biasanya akan berkaitan dengan pemalsuan dokumen seperti memalsukan KTP
serta tidak kejahatan lainnya seperti tindak pidana pencucian uang. Oleh karena
itu maka pelaku tindak pidana pembobolan kartu kredit biasanya akan dikenakan
Pasal berlapis selain dari Pasal di dalam Undang-Undang ITE.
3.2 SARAN
Dalam memberikan tuntutan Pidana
Kejahatan Siber Pembobolan kartu kredit, hendaknya Jaksa memberikan tuntutan
pula dengan menggunakan Pasal yang ada di dalam Undang-Undang ITE.
DAFTAR PUSTAKA
Cyber Crime Pembobolan Kartu Kredit dalam http://etikaprofesiteknologiinformasi.blogspot.co.id/p/blog-page_6019.html
Diakses pada Jumat, 15 Juli 2016 Pukul 09.11 WIB.
Edan! Pembobol Kartu Kredit Ini Beromzet Miliaran Rupiah diakses dari http://www.arah.com/article/5638/edan-pembobol-kartu-kredit-ini-beromzet-miliaran-rupiah.html http://www.merdeka.com/uang/kasus-kasus-pembobolan-kartu-kredit-yang-menggemparkan.html pada tanggal 14 Juli 2016 pukul 10.16 WIB
Kasus-kasus pembobolan kartu kredit yang menggemparkan
diakses dari http://www.merdeka.com/uang/kasus-kasus-pembobolan-kartu-kredit-yang-menggemparkan.html pada tanggal 14 Juli 2016 pukul 9.37
WIB
Sudah Ada 537 Kasus Kejahatan Siber Tahun Ini diakses
dari http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/16/06/03/o872op284-sudah-ada-537-kasus-kejahatan-siber-tahun-ini pada tanggal 14 Juli 2016 pukul 9.15
WIB
Unsur
Pidana dan Bentuk Pemalsuan Dokumen diakses dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt54340fa96fb6c/unsur-pidana-dan-bentuk-pemalsuan-dokumen pada tanggal 15
Juli 2016 pukul 9.27 WIB
[1] Sudah Ada 537 Kasus Kejahatan Siber Tahun Ini diakses dari http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/16/06/03/o872op284-sudah-ada-537-kasus-kejahatan-siber-tahun-ini pada tanggal 14 Juli 2016 pukul 9.15 WIB
[2] Kasus-kasus pembobolan kartu kredit yang menggemparkan diakses dari http://www.merdeka.com/uang/kasus-kasus-pembobolan-kartu-kredit-yang-menggemparkan.html pada tanggal 14 Juli 2016 pukul 9.37 WIB
[3] Op. cit
[4] Unsur Pidana
dan Bentuk Pemalsuan Dokumen diakses dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt54340fa96fb6c/unsur-pidana-dan-bentuk-pemalsuan-dokumen pada tanggal 15
Juli 2016 pukul 9.27 WIB
[5] Edan! Pembobol Kartu Kredit Ini Beromzet Miliaran Rupiah diakses dari http://www.arah.com/article/5638/edan-pembobol-kartu-kredit-ini-beromzet-miliaran-rupiah.html http://www.merdeka.com/uang/kasus-kasus-pembobolan-kartu-kredit-yang-menggemparkan.html pada tanggal 14 Juli 2016 pukul 10.16 WIB
[6] Cyber Crime
Pembobolan Kartu Kredit dalam http://etikaprofesiteknologiinformasi.blogspot.co.id/p/blog-page_6019.html Diakses pada
Jumat, 15 Juli 2016 Pukul 09.11 WIB.
Ketentuan Overmacht dalam Suatu Perikatan Perdata
Dalam membuat suatu perjanjian/perikatan biasanya kita wajib memasukan klausul di dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPer yang berbunyi :
Pasal 1244
Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan
bunga. bila ia tak dapat membuktikan
bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam
melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang
tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikad buruk
kepadanya.
Pasal 1245
Tidak
ada penggantian biaya, kerugian dan bunga. Bila karena keadaan memaksa atau
karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan
atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang
terlarang baginya.
Pengertian dari Overmacht :
Overmacht
(keadaan memaksa) adalah suatu keadaan dimana debitor tidak dapat melakukan
prestasinya kepada kreditor setelah di buatnya persetujuan, yang
menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya,dimana debitur tidak dapat
dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada
waktu persetujuan dibuat yang disebabkan adanya kejadiaan yang berbeda di luar
kuasanya. Seperti gempa bumi, banjir dan
kecelakaan. Dalam KUHPerdata Overmacht atau keadaan memaksa diatur dalam Buku
III pasal 1244 dan 1245.
terdapat 3 unsur yang harus dipenuhi
oleh overmacht yakni:
- Debitur tidak memenuhi prestasi walaupun telah berusaha secara patut
- Ada sebab yang terletak diluar kesalahan debitur
- Faktor penyebab itu tidak dapat diduga oleh siapapun dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur.
Apakah Fotocopy Dokumen bisa menjadi alat Bukti di Pengadilan ?
Berdasarkan kepada Pasal 1888 KUH Perdata disebutkan mengenai pengaturan mengenai salinan/fotocopy dari sebuah surat/dokumen, yaitu :
“Kekuatan
pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta
yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah
dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu
sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan
mempertunjukkannya”
Dalam praktik, Mahkamah Agung juga telah memberikan penegasan atas bukti berupa fotocopy dari surat/dokumen, dengan kaidah hukum sebagai berikut:
“Surat
bukti fotokopi yang tidak pernah diajukan atau tidak pernah ada surat
aslinya, harus dikesampingkan sebagai surat bukti.” (Putusan MA No.:
3609 K/Pdt/1985)
Sesuai dengan pendapat dari Mahkamah Agung dalam Putusan MA No. 3609 K/Pdt/1985 tersebut, maka fotocopy dari
sebuah surat/dokumen yang tidak pernah dapat ditunjukkan aslinya, tidak
dapat dipertimbangkan sebagai alat bukti surat menurut Hukum Acara
Perdata (Vide: Pasal 1888 KUH Perdata).
Jadi, dalam hal tidak dapat ditunjukkannya dokumen asli dari fotocopy
perjanjian bawah tangan tersebut, saksi sebagai salah satu alat bukti
dapat berfungsi untuk memberikan keterangan kepada hakim, bahwa benar
pernah ada suatu kesepakatan yang dibuat secara bawah tangan oleh para
pihak yang namanya tercantum dalam fotocopy perjanjian bawah tangan tersebut, untuk memperjanjikan suatu hal tertentu (Vide Pasal 1320 Jo. 1338 KUH Perdata).
Argumentasi
mengenai hal tersebut juga telah ditegaskan oleh Mahkamah Agung dalam
Putusannya No.: 112 K/Pdt/Pdt/1996, tanggal 17 September 1998, yang
memiliki kaidah hukum sebagai berikut:
“Fotocopy surat tanpa disertai surat/dokumen aslinya dan tanpa dikuatkan oleh Keterangan saksi dan alat bukti lainnya, tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam Persidangan Pengadilan (Perdata)
Mengenai pertanyaan jumlah minimum saksi untuk membuktikan fotocopy perjanjian di bawah tangan, ada baiknya kita memperhatikan ketentuan Pasal 1905 KUH Perdata, yang berbunyi:
“Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka pengadilan tidak boleh dipercaya.”
Dari
ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam hal tidak
adanya bukti lain, selain saksi yang dapat diajukan oleh seseorang untuk
menguatkan dalilnya, maka jumlah saksi yang harus diajukan orang
tersebut adalah minimal dua orang saksi (unus testis nullus testis).
Namun
demikian, dalam praktik, ketentuan mengenai pembuktian dalam perkara
perdata tersebut dapat berkembang dan bermanuver. Misalnya dalam hal
keberadaan fotocopy dari perjanjian bawah tangan ini ternyata
diakui dan tidak disangkal oleh pihak lawan, tentunya hal ini dapat
dikualifisir sebagai pengakuan di muka hakim, yang merupakan bukti yang
sempurna (Vide: Pasal 176 HIR), atau apakah ada persangkaan (kesimpulan) yang ditarik oleh hakim (Vide: Pasal 173 HIR) dari bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak serta fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
Sumber : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51ab049c2a0d2/kekuatan-pembuktian-fotokopi-dokumen
Modal Dasar Untuk Mendirikan UMKM
Berdasarkan UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT),
modal minimal untuk mendirikan PT adalah Rp50 Juta. Dengan terbitnya
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perubahan Modal Dasar
Perseroan Terbatas, modal dasar Perseroan Terbatas tetap minimal Rp50
Juta, tapi untuk UMKM modal dasar ditentukan berdasarkan kesepakatan
para pendiri PT yang dituangkan dalam Akta Pendirian PT. (Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57221f10b40fd/catat-ini-kemudahan-ukm-dalam-paket-kebijakan-xii)
Batasan Antara Wanprestasi dengan Penipuan
Berdasarkan Pasal 378 KUHP yang berbunyi : "Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun."
Unsur-Unsur Perbuatan Penipuan Adalah Sebagai Berikut :
1. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;
2. Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang;
3. Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan)
Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian termasuk wanprestasi atau merupakan sebuah penipuan maka kita harus melihat pada point 3 diatas yaitu Batasan antara Wanprestasi dengan Penipuan yaitu terletak pada "tempus delicti" atau waktu ketika "perjanjian atau kontrak itu ditutup" atau perjanjian/kontrak ditandatangani. Apabila "setelah" (post facatum) kontrak ditutup/ditandatangani diketahui adanya tipu muslihat, rangkaian kata bohong atau keadaan palsu, martabat palsu dari salah satu pihak, maka per buatan itu merupakan wanprestasi. Sebaliknya jika kontrak setelah ditutup/ditandatangani ternyata sebelumnya (ante factum) ada tipu muslihat, rangkaian kata bohong atau keadaan palsu, martabat palsu itu telah disembunyikan oleh salah satu pihak maka perbuatan itu merupakan penipuan. (Sumber : Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan, Dr. Yahman, S.H, M.H Penerbit Kencana).
Berdasarkan rumusan tersebut, unsur-unsur dalam perbuatan penipuan adalah:
1. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;
2. Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang;
3. Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan)
Unsur poin 3 di atas yaitu mengenai upaya/cara adalah unsur utama untuk menentukan apakah perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai penipuan.
Nah jika pada sebuah perjanjian utang-piutang atau jual-beli, penting diketahui apakah ada niat untuk melakukan kejahatan dengan menggunakan nama palsu, tipu daya atau rangkaian kebohongan, sebelum dibuatnya perjanjian. Jika sejak awal sudah ada pemalsuan nama maka perkara perjanjian hutang piutang atau jual-beli tersebut masuk ke ranah hukum pidana. Namun, jika terjadi pelanggaran terhadap kewajiban dalam suatu perjanjian setelah dibuatnya perjanjian tersebut, maka hal itu merupakan wanprestasi.
- See more at: http://www.gresnews.com/berita/tips/31122-tips-alasan-kasus-hukum-perdata-berubah-menjadi-pidana/0/#sthash.Blas81ov.dpuf
1. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;
2. Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang;
3. Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan)
Unsur poin 3 di atas yaitu mengenai upaya/cara adalah unsur utama untuk menentukan apakah perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai penipuan.
Nah jika pada sebuah perjanjian utang-piutang atau jual-beli, penting diketahui apakah ada niat untuk melakukan kejahatan dengan menggunakan nama palsu, tipu daya atau rangkaian kebohongan, sebelum dibuatnya perjanjian. Jika sejak awal sudah ada pemalsuan nama maka perkara perjanjian hutang piutang atau jual-beli tersebut masuk ke ranah hukum pidana. Namun, jika terjadi pelanggaran terhadap kewajiban dalam suatu perjanjian setelah dibuatnya perjanjian tersebut, maka hal itu merupakan wanprestasi.
- See more at: http://www.gresnews.com/berita/tips/31122-tips-alasan-kasus-hukum-perdata-berubah-menjadi-pidana/0/#sthash.Blas81ov.dpuf
Prosedur PK Perkara Pidana
|
Sumber:
- Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 8-11. |