Oleh :
INDRA RUSMI. SH. MH –
Advokat dan Akademisi
JOHAN IMANUEL. SH -
Advokat
BIREVEN ARUAN, SH - Advokat
Latar Belakang
Negara adalah suatu organisasi yang memiliki tujuan. Pada
konteks Negara Indonesia, tujuan Negara tertuang dalam alinea keempat Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
mengidentifikasikan Negara Indonesia sebagai Negara hukum yang bertujuan mewujudkan
kesejahteraan umum. Setiap kegiatan disamping harus diorientasikan pada tujuan
yang hendak dicapai juga harus berdasarkan pada hukum yang berlaku sebagai
aturan kegiatan kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan. Untuk mencapai
tujuan nasional tersebut, maka dilakukan upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang merupakan rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terarah,
dan terpadu, termasuk di dalamnya adalah pembangunan kesehatan.
Kesehatan
merupakan salah satu faktor penting bagi Negara karena salah satu faktor dalam
pembangunan adalah manusia yang sehat dan berpendidikan. Masyarakat yang sehat
akan bisa berbuat apa saja untuk mencapai harapan hidup, sebaliknya masyarakat
yang tidak sehat akan mengalami keterlambatan dalam segala hal. Posisi kesehatan
yang menduduki tangga pertama dari pembangunan manusia, maka kesehatan diakui
secara global sebagai Hak Asasi Manusia. Ditegaskan dalam konstitusi World Health Organization (WHO) 1948,
bahwa memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah suatu hak
asasi bagi setiap orang.
Konsep
jaminan sosial dalam arti luas meliputi setiap usaha di bidang kesejahteraan
sosial untuk meningkatkan taraf hidup manusia dalam mengatasi keterbelakangan,
ketergantungan, ketelantaran, dan kemiskinan. Konsep ini belum dapat diterapkan
secara optimal di Indonesia, karena keterbatasan pemerintah di bidang
pembiayaan dan sifat ego sektoral dari beberapa pihak yang berkepentingan dalam
jaminan sosial. Konsep Negara kesejahteraan tidak hanya mencakup deskripsi
mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (sosial
services), melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan
ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial
sebagai haknya.
Aspek Penting Dalam Konstitusi
Pada
dasarnya terdapat beberapa aspek penting terkait pemenuhan hak konstitusi dan
perlindungan hukum dalam rangka terselenggaranya program BPJS. Pertama, amanat
konstitusi yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyebutkan bahwa cita-cita luhur bangsa adalah menjamin kesejahteraan
rakyatnya. Tercermin dalam Pancasila sila kelima yaitu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 juga memiliki
beberapa Pasal yang menjadi landasan diperlukannya program BPJS sesuai
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS. Pasal 28 H ayat (1) secara
langsung mengatakan bahwa jaminan sosial menjadi hak setiap manusia. Pada Pasal
34 ayat (1) kembali disebutkan landasan konstitusional diperlukannya sistem
jaminan sosial. Landasan konstitusional selanjutnya yaitu Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dengan latar belakang
untuk membangun sistem yang komprehensif dan memberi “rasa aman” (security) yang lebih luas.
Kedua, aspek kebutuhan rakyat,
jaminan sosial merupakan kebutuhan bagi masyarakat. Jaminan sosial dibutuhkan
secara menyeluruh dan tidak terfragmentasi. Aksesabilitas masyarakat yang
berbeda karena perbedaan kemampuan ekonomi, letak geografis, dan perbedaan
ketersediaan fasilitas, mendorong perlunya jaminan yang sama bagi setiap
individu. Jaminan ini dibutuhkan karena setiap individu memiliki kemungkinan
masuk dalam kategori masyarakat rentan dalam menghadapi resiko sosial dalam
hidupnya. Hal ini sejalan dengan
amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H ayat
(3) yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat” dan Pasal 34
ayat (2) yang menyatakan: “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan”.
Permasalahan yang Timbul :
Permasalahan yang Timbul :
P
Permasalahan yang timbul
pada saat ini dalam pelayanan kesehatan (Health Care Delivery System) :
1.
Penolakan pasien tidak mampu di fasilitas
pelayanan kesehatan hal ini dikarenakan Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2012
tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, Peraturan presiden No. 111
Tahun 2013 tentang Jaminan kesehatan hanya mengakomodasi 86,4 juta rakyat fakir
miskin sebagai PBI padahal menurut BPJS, fakir miskin ada 96,7 juta.
Pelaksanaan BPJS tahun 2014 didukung pendanaan dari pemerintah sebesar Rp. 26
trliun yang dianggarkan di RAPBN 2014. Anggaran tersebut dipergunakan untuk
Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp. 16.07 trliun bagi 86,4 juta masyarakat
miskin sedangkan sisanya bagi PNS, TNI dan Polri. Pemerintah harus secepatnya
menganggarkan biaya kesehatan Rp. 400 milyar untuk gelandangan, anak jalanan,
penghuni panti asuhan, panti jompo dan penghuni lapas (jumlahnya sekitar 1,7
juta orang). Dan tentunya jumlah fakir miskin yang dicover oleh BPJS kesehatan harus dinaikkan menjadi 96,7 juta.
2.
Dalam pelaksanaan secara teknis maka mengacu
kepada Undang-Undang BPJS dan Perda terkait, dimana anak terlantar dan
gelandangan/pengemis (gepeng) serta orang yang gila (gangguan jiwa) itu menjadi
tanggung jawab negara atau pemerintah daerah, sehingga bagi mereka yang
mempunyai identitas (KTP dan KK) maka akan di berikan kartu miskin atau warga
tidak mampu. Namun bagi anak-anak terlantar, gepeng dan orang yang gila
(gangguan jiwa) yang tidak mempunyai kartu identitas maka mereka akan di data
oleh dinas sosial setempat dan menjadi tanggungan pemerintah daerah melalui
Deparrtemen Sosial.
3.
Pelaksanaan di lapangan, pelayanan kesehatan
yang diselenggarakan oleh PPK I (Puskesmas klinik) maupun PPK II (Rumah Sakit)
sampai saat ini masih bermasalah. Pasien harus mencari-cari kamar dari satu RS
ke RS lainnya karena dibilang penuh oleh RS, bukanlah hal yang baru dan baru
sekali terjadi. Ditambah dengan antrian yang cukup banyak pada saat mendaftar
di kantor BPJS untuk melakukan pendaftaran awal pembuatan BPJS Kesehatan
antrian sangat panjang, tempat duduk ruang tunggu sangat minim. Kemudian di
pelayanan Puskesmas maupun rumah sakit, pasien harus menunggu antrian yang
cukup lama pada saat akan melakukan pengobatan, menunggu antrian awal
pendaftaran cukup lama dan juga pada saat menunggu antrian pengambilan obat.
4.
Perihal obat-obatan tidak semua tercover oleh
BPJS, terdapat keluhan dari Masyarakat kurang mampu yang harus menanggung biaya
pembelian obat-obatan yang harganya cukup mahal, sehingga bagi PBI yang tidak
mampu membeli obat pada akhirnya tidak melakukan pembelian obat tersebut,
(Keluhan dari Ny. Titin Perihal Putranya yang sakit lumpuh dari tahun 2011
Hingga sekarang (Pasien PBI), warga Cipayung Rt.07 Rw.04 Cipayung Jakarta
Timur). ( sumber hasil wawancara )
Pemenuhan Hak
Kostitusional Warga
Negara yang Ideal Dikemudian
Hari
Pelayanan kesehatan BPJS mempunyai sasaran didalam
pelaksanaan akan adanya sustainibilitas operasional dengan memberi manfaat
kepada semua yang terlibat dalam BPJS, pemenuhan kebutuhan medik peserta, dan
kehati-hatian serta transparansi dalam pengelolaan keuangan BPJS. Perlu
perhatian lebih mendalam dalam pelaksanaan terhadap system pelayanan kesehatan (Health Care Delivery System), sistem
pembayaran (Health Care Payment System)
dan sistem mutu pelayanan kesehatan (Health
Care Quality System). Mengingat pelaksanaan BPJS dikeluarkan melalui
Undang-Undang dimana bersifat mengatur sedangkan proses penetapan pelaksanaan
diperkuat melalui surat keputusan atau ketetapan dari pejabat Negara yang
berwenang seperti peraturan pemerintah dan peraturan presiden setidaknya
minimal 10 regulasi turunan harus dibuat untuk memperkuat pelaksanaan BPJS.
Menurut Laporan Pembangunan Manusia (Human Development
Report/HDR) tahun 2011 untuk Program Pembangunan PBB (UNDP), menunjukan bahwa
di Indonesia terdapat 48,35 juta (20,8 persen) orang miskin multi dimensi,
yakni yang di ukur menurut indikator penghasilan, pendidikan, dan usia harapan
hidup. Sedangkan presentasi fakir miskin di tahun 2011 menurut
BPPS lebih kecil lagi yaitu 12,49 persen (30,3 juta orang) dari 237 juta
jiwa.Walaupun ini angka besar, jumlah fakir miskin sebenarnya terus menurun
dari tahun ke tahun, hal ini dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia
Indonesia yang meningkat hamper 50 persen dalam kurun waktu 31 tahun ( 1980 –
2011/ (0,432 – 0,617).
Pengalaman Negara maju dan berkembang membuktikan bahwa
meskipun mekanisme pasar mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan
kerja yang optimal, ia selalu gagal menciptakan pemerataan pendapatan dan
memberantas masalah sosial. Fakir miskin dan penyandang masalah Kesejahteraan
Sosial adalah kelompook yang tidak tersentuh oleh strategi pembangunan yang
bertumpu pada mekanisme pasar. Kelompok rentan ini, karena hambatan fisiknya
(orang cacat), kulturalnya (suku terasing) maupun strukturalnya (pengangguran),
tidak mampu merespon secepat perubahan sosial di sekitarnya, termarjinalkan
dalam proses pembangunan yang tidak adil.
Pemenuhan Hak Konstitusional Bagi Masyarakat Berdasarkan
Pasal 28H Ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang akan datang adalah setiap warga
negara dijamin oleh negara atas jaminan sosial tanpa membedakan status sosial, suku, agama, ras dan golongan, sehingga jaminan sosial adalah
merupakan suatu tanggung jawab negara untuk melindungi warga negara dari
ancaman terhadap kemiskinan, kesehatan maupun bencana. Inilah yang dinamakan Baldatun
warofun ghofur, atau sejalan dengan cita-cita Negara Republik Indonesia
yang tertuang pada Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 yaitu Adil dan Makmur.
Beberapa Rekomendasi yang diperlukan antara lain :
1. Menegakan Kepatuhan
Hukum Terhadap Stakholders, sehingga
satu sama lain saling mendukung
untuk mencapaiUniversal Health Coverage(UHC);
2. Memperbaiki akurasi data
peserta, perlu terus melakukan verifikasi dan validasi data kepesertaan peserta
(baik PBI maupun Jamkesda), agar tidak terjadi kepesertaan ganda atau
sebaliknya (mengabaikan masyarakat yang sebenarnya berhak menerima bantuan
iuran);
3. Memperbaiki regulasi, BPJS Kesehatan perlu
melakukan revisi regulasi, sehingga ada sanksi yang tegas bagi pemerintah
daerah dan lembaga terkait yang tidak mendukung Program JKN/KIS.
4. Meningkatkan kualitas
SDM dan mendorong terciptanya SDM yang profesional yang
ditempatkan pada mitra kerja seperti: rumah sakit dan
puskesmas, agar dapat memberikan layanan kesehatan terbaik bagi masyarakat
5. Pemerintah disarankan untuk meningkatkan anggaran pelayanan
kesehatan sebesar Rp. 400 milyar untuk
gelandangan, anak jalanan, penghuni panti asuhan, panti jompo dan
penghuni lapas (jumlahnya sekitar 1,7 juta orang) dari APBN termasuk anggaran
terhadap fakir miskin harus dinaikkan menjadi 96,7 juta.
6. Pemerintah disarankan mencontoh pengelolaan dana pelayanan
kesehatan seperti negarMalaysia yang sudah lebih tingkat kesadaran akan
kesehatan.
Foto dari Kiri ke Kanan : Indra Rusmi, S.H., M.H, Bireven Aruan, S.H dan Johan Imanuel, S.H.
Foto dari Kiri ke Kanan : Indra Rusmi, S.H., M.H, Bireven Aruan, S.H dan Johan Imanuel, S.H.