Oleh: Andrie Irawan, SH., MH[1]
Email: andrie.legal@merahputih.id , HP/WA: 0813-28-777-614
Pendahuluan
Tata kota yang indah dan teratur merupakan proyeksi umum yang dapat
dikategorikan bahwa warga dari kota tersebut rapi dan tertib. Selain itu
tentunya kota sebagaimana dimaksud menjadi sebuah hunian yang nyaman
untuk siapa saja. Permasalahan kota dalam hal visualisasi representasi kota
sebagai tempat yang bersih, sehat, tidak mengganggu pemandangan, rapi dan
tertata menjadikan kota memiliki identitas ruang yang tidak bisa dipungkiri dan
kokoh. Pribadi kota seperti inilah yang menjadikan sekelompok orang yang
menyebut dirinya sebagai pekerja seni (seniman) liar mengembangkan daya
imajinasinya dalam sebuah ruang yang bernama ruang publik. Sementara ruang
publik sendiri diakui sebagai bagian dari identitas kota yang harus memenuhi
standar sebagai kota yang bersih dan tertata dari tangan-tangan manusia yang
ingin merusak.
Coretan di dinding pada ruang publik merefleksikan bagaimana seseorang
menuangkan keresahan hatinya lewat aksi coret-coret pada dinding. Si pembuat
coretan ingin menyampaikan gagasannya lewat ruang publik, atau karena dorongan
eksistensi si pencoret yang ingin tampil tanpa pesan sedikitpun. Aksi tersebut
dilakukan di kota-kota, seolah-olah telah menjadi kebiasaan yang lumrah, bahkan
coretan-coretan tersebut seolah tak menyisakan tembok yang bersih berwarna
putih. Dinding menjadi media utama bagi para pencoret dan permukaan yang datar
dan luas menjadi sasaran empuk baginya.
Fenomena yang digambarkan dalam tulisan ini tentunya bukan lagi sebatas
wacana, melainkan sudah fakta yang membuat wajah kota tidak indah lagi. Hal ini
juga dapat memproyeksikan bahwa warga kota yang dimaksud terkesan egois dan
cuek (makna cuek ini ditekankan ketika aksi coretan-coretan yang terjadi hanya
dibiarkan tanpa ada solusi mengarahkannya ke hal yang lebih positif).
Kebanyakan aksi dari coret-coret tersebut dilakukan oleh remaja yang
masih dalam usia sekolah, baik yang masih sekloah maupun tidak. Permasalahan
ini menjadi permasalahan sosial dan mengarah kepada penyakit masyarakat yang
tentunya tidak dapat dibiarkan atau bahkan kita tidak peduli dengan
permasalahan tersebut. Aksi-aksi yang dimaksud dan marak saat ini dikenal
dengan istilah Vandalisme, sebelum mencari solusi dalam upaya penanggulanganya
tentunya kita perlu mencari akar masalah kenapa hal ini terjadi.
Kenakalan Remaja
Remaja berasal dari kata latin adolensence
yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup
kematangan mental, emosional sosial dan fisik. Menurut Sri Rumini & Siti
Sundari masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang
mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa dewasa. Adapun
rentang usia remaja antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi perempuan
dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi laki-laki.[2]
Remaja berada pada masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.
Dalam masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya
maupun perkembangan psikisnya. Mereka bukanlah anak-anak baik bentuk badan
ataupun cara berfikir atau bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah
matang.[3]
Melihat definisi tersebut, remaja berada dalam masa peralihan, ketika
dalam pembatasan umur menurut hukum remaja berada dalam kategori anak dan
dewasa, sehingga pendekatannya jika dilihat dari sisi hukum tentunya akan
berbeda, namun tulisan ini akan lebih melihat remaja dari sisi perkembangan.
Selain itu jika berbicara masalah remaja yang bersifat negatif atau dikenal
dengan kenakalan remaja, patu diperhatikan bahwa kenalakan remaja merupakan
tindakan melanggar aturan ataupun norma, baik dari skala kecil sampai dengan
besar diantaranya membolos sekolah, melanggar jam
malam yang ditetapkan orangtua, hingga kenakalan berat seperti vandalisme,
perkelahian antar geng, penggunaan obat-obat terlarang, dan sebagainya.
Dalam batasan hukum, menurut Philip Rice dan Gale
Dolgin, penulis buku The
Adolescence, terdapat dua kategori pelanggaran yang dilakukan remaja, yaitu:
Adolescence, terdapat dua kategori pelanggaran yang dilakukan remaja, yaitu:
1.
Pelanggaran
indeks, yaitu munculnya tindak kriminal yang dilakukan oleh anak remaja.
Perilaku yang termasuk di antaranya adalah pencurian, penyerangan, perkosaan,
dan pembunuhan.
2.
Pelanggaran
status, di antaranya adalah kabur dari rumah, membolos sekolah, minum minuman
beralkohol di bawah umur, perilaku seksual, dan perilaku yang tidak mengikuti
peraturan sekolah atau orang tua.
Tindakan kenakalan remaja yang tidak terkontrol
akan menjerumuskan seorang remaja pada perilaku kejahatan remaja (Juvenile
Deliquency) yang merupakan salah satu penyakit sosial. Penyakit Sosial atau
Penyakit Masyarakat adalah segala bentuk tingkah laku yang dianggap tidak
sesuai, melanggar norma-norma umum, adat istiadat, hukum formal, atau tidak
bisa diintegrasikan dalam pola tingkah laku umum. Disebut juga sebagai penyakit
masyarakat karena gejala sosialnya yang terjadi di tengah masyarakat itu
meletus menjadi penyakit.
Pemicu
dari Kenakalan Remaja
Ada beberapa pemicu ataupun faktor timbulnay
permasalahan sosial berupa kenakalan remaja. Beberapa pendapat mengkategorikan
faktornya menjadi dua hal, yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal dari remaja itu sendiri dilandasi
dari beberapa hal, antara lain: Kepribadian
yang cenderung agresif dan labil, karena masa remaja dikatakan sebagai suatu
masa yang berbahaya. Dimana seseorang meninggalkan masa anak-anak untuk menuju
masa dewasa. Masa ini di rasakan sebagai suatu Krisis identitas karena belum
adanya pegangan, sementara kepribadian mental untuk menghindari timbulnya
kenakalan remaja atau perilaku menyimpang.[4]
Faktor lain yaitu berasal dari eksternal remaja,
diantaranya: Keluarga, permasalahan yang timbul dalam keluarga,
Menurut Karol Kumpfer dan Rose Alvarado, profesor dan asisten profesor dari
University of Utah, dalam penelitiannya, menyebutkan bahwa kenakalan dan
kekerasan yang dilakukan oleh anak dan remaja berakar dari masalah-masalah
sosial yang saling berkaitan, diantaranya kekerasan yang dilakukan orang tua
kepada anak baik dari pengabaian, kekerasan dalam rumah tangga. Ketidakmampuan
orang tua dalam menghentikan dan melarang perilaku anak akan membuat perilaku
kenakalan tersebut bertahan.[5]
Dalam batasan hukum, menurut Philip Rice dan Gale
Dolgin, penulis buku The Adolescence, terdapat dua kategori pelanggaran
yang dilakukan remaja, yaitu:[6]
1.
Pelanggaran
indeks, yaitu munculnya tindak kriminal yang dilakukan oleh anak remaja.
Perilaku yang termasuk di antaranya adalah pencurian, penyerangan, perkosaan,
dan pembunuhan.
2.
Pelanggaran
status, di antaranya adalah kabur dari rumah, membolos sekolah, minum minuman
beralkohol di bawah umur, perilaku seksual, dan perilaku yang tidak mengikuti
peraturan sekolah atau orang tua
Selain itu kenakalan remaja juga dapat ditinjau dari
beberapa aspek, yaitu:
1.
Genetis Psikologis, remaja di usia 12-18 tahun sedang berada dalam masa panca
roba, dimana pada faes ini remaja sedang mencari jati diri dan tentunya mencari
teman sebanyanya untuk saling berkomunikasi dan saling mencurahkan isi hatinya.
Remaja pada fase ini sedang menari “aku”nya dan lebih menjolkan “aku”nya dengan
sifat keras kepala, kasar dan brutal, jika tanpa adanya pembinaan terarah akan
timbul kenakalan remaja.
2.
Secara sosiologi, banyak faktor regulatif seperti misalnya peraturan tata
tertib dan norma-norma lain yang berperan dalam kehidupan sosial, kini banyak
diabaikan bahkan dilanggar sehingga berakibat logis dari masalah situasi sosial
yang pernah dilaluinya ataupun yang sedang dialaminya hal ini mungkin timbul
dari kehidupan dalam keluarga, seperti karena dalam perceraian, kesibukan orang
tua dalam bekerja, kurangnya komunikasi dalam keluarga dan lain-lain yang
kesemua itu dapat menimbulkan kehangatan keluarga tidak pernah ada dalam
perkembangan jiwa remaja
3.
Secara sosial ekonomi dan politik, secara sosial ekonomi keadaan susunan keluarga
remaja sangatlah bermacam-macam. Ada keluarga mampu, setengah mampu, dan ada
yang serba kekurangan. Melihat kondisi tersebut, ada yang menyerahkan
pendidikan anaknya sepenuhnya kapada sekolah. Dilain pihak ada juga yang
menyebut anak didik dan remajanya dengan mencukupkan berbagai kebutuhannya
dengan sejumlah uang yang cukup dan bahkan berlebihan atau yang menyerahkan
kepada pengasuhnya atau pekerja rumah tangga sehingga berakibat anak (remaja)
mengalami kekosongan jiwa. Ketika lahir kekosangan jiwa kepada anak (remaja) tentunya
anak akan mudah gelisah dan rentan akan masukan-masukan negatif dari
lingkungannya karena ketidaktangguhan dari jiwa anak (remaja) tersebut,
misalnya dalam fenomena aksi politik praktis saat ini maka remaja akan sangat
mudah digiring untuk jadi simpatisan.
Vandalisme,
Graffiti dan Mural
Vandalisme dan grafiti signifikan mempengaruhi
individu dan masyarakat. Penghapusan dan pencegahan vandalisme grafiti sangat
mahal untuk masyarakat. Puluhan juta dari uang pembayar pajak dibelanjakan
setiap tahun pada membersihkan grafiti dan memperbaiki kerusakan yang
menyebabkan. Menghabiskan uang rakyat ini untuk membersihkan grafiti berarti
bahwa uang tidak dibelanjakan pada hal-hal yang dapat bermanfaat bagi
masyarakat.[7]
Vandalisme grafiti bisa menjadi kegiatan yang berbahaya. Graffiti sering
diterapkan di lokasi berbahaya, seperti di sepanjang rel kereta api, kereta api
koridor dan kereta terowongan.[8]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai
Pustaka, 1989) Vandalisme adalah perbuatan merusak dan menghancurkan hasil
karya seni dan barang berharga lainnya. Vandalisme sendiri dapat didefinisikan
sebagai kegiatan iseng dan tidak bertanggung jawab dari beberapa orang yang
berperilaku cenderung negatif.
Vandalisme merupakan simbol ekspresi manusia untuk
diakui keberadaannya oleh manusia lain dengan berbagai macam cara. Namun
apabila sudah mengarah pada perbuatan negatif, maka akan ada pihak yang merasa
dirugikan.
Graffiti sendiri dapat digolongkan dalam aksi
vandalisme. Diane Schaefer memberikan pendapat terhadap graffiti yaitu graffiti researchers typically use a broad
definition for their topic. Graffiti as an inscription or drawing made on a
public surface (as a wall) (Diane Schaefer, 2004 :181).
Graffiti berasal dari bahasa latin, yaitu Graphium
yang artinya adalah Tulisan. Graffiti sudah ada sejak zaman dulu, digunakan
sebagai media komunikasi dan sarana mistisme dan spiritualisme. Graffiti juga
digunakkan sebagai sarana propaganda untuk menyindir dan menunjukkan
ketidakpuasaan kepada pemerintah saat zaman Romawi.[9] Graffiti
itu sendiri adalah coretan di dinding dengan mempertimbangkan komposisi warna,
garis, bentuk dan volume untuk menuliskan kata, simbol atau kalimat tertentu.
Alat yang digunakan untuk Graffiti itu biasanya cat semprot (pilox) atau
spidol. Kegiatan membuat Graffiti biasa disebutnya sih nge-bomb dan pelakunya
disebut sebagai Bomber.[10]
Mural berasal dari bahasa latin Murus yang berarti
Dinding. Arti yang lebih luas lagi, Mural adalah lukisan yang dilukis pada
bidang permanen seperti tembok, dinding dan sejenisnya. Mural udah ada sejak
zaman dulu, dipergunakan sebagai ajang kegiatan spiritual dan ajang eksistensi
diri.[11]
Solusi
Mengatasi Vandalisme dalam Hukum Positif Indonesia
Vandalisme dalam tulisan ini memang memandangnya
adalah tindakan sebuah pelanggaran terhadap ketertiban umum bahkan juga dapat
menjadi sebuah kejahatan. Pendekatan hukum positif dalam tindakan vandalisme
yang dilakukan oleh remaja tidak hanya sebatas pendekatan dari aspek pidana
namun juga dapat menggunakan pendekatan secara perdata.
Pendekatan normatif dalam hukum pidana untuk aksi
vandlisme dapat diuraikan dalam beberapa pasal-pasal yang ada di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), diantaranya:
Jika aksi
vandalisme yang dilakukan tersbut berkibat adanya
pengrusakan rumah (gedung) atau bangunan-bangunan yang dapat mendatangkan
bahaya umum bagi barang, bahaya bagi orang lain, atau bahaya maut bagi orang
lain, maka pasal yang mungkin digunakan adalah Pasal 200 KUHP yang berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja menghancurkan atau merusak
gedung atau bangunan diancam:
1. dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya umum bagi barang;
2. dengan pidana penjara paling lama
lima belas tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang
lain;
3. dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika
karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan
orang mati.”
Terkait
pasal ini, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan
bahwa supaya dapat dihukum dengan pasal ini, maka perbuatan tersebut harus
dilakukan dengan “sengaja” dan harus mendatangkan akibat-akibat sebagaimana
termaktub pada sub 1 sampai dengan sub 3 dalam pasal ini.
Mengenai apa yang dimaksud dengan menghancurkan dan merusak, S.R. Sianturi,
S.H. (Ibid) menjelaskan bahwa menghancurkan adalah membuatnya sama
sekali binasa atau musnah, rusak berantakan dan bahkan sudah tidak berwujud
lagi ibarat sepeda digilas stomwals (kendaraan penggilas jalan). Sedangkan
merusak adalah membuat sebagian dari benda itu rusak yang mengakibatkan
keseluruhan benda itu tidak dapat dipakai.
Melihat pada uraian di atas, jika perbuatan orang tersebut hanya
mencoret-coret rumah Anda yang tidak mengakibatkan bahaya baik bagi barang
maupun bagi nyawa orang lain, serta perbuatan tersebut tidak ada maksud untuk
membuat Anda melakukan sesuatu sesuai keinginan si pelaku, maka perbuatan
tersebut tidak dapat dipidana.
Akan tetapi, jika yang melakukan hal tersebut lebih dari 1 (satu) orang,
maka dapat diancam pidana berdasarkan Pasal 170 ayat (1) KUHP:
“Barang siapa dengan terang-terangan dan
dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.”
R. Soesilo (Ibid) menjelaskan bahwa yang dilarang dalam pasal ini
adalah “melakukan kekerasan”. Kekerasan yang dilakukan ini biasanya terdiri
dari “merusak barang” atau “penganiayaan”, akan tetapi dapat pula kurang
daripada itu; sudah cukup misalnya bila orang-orang melemparkan batu pada orang
lain atau rumah, atau membuang-buang barang-barang dagangan, sehingga
berserakan, meskipun tidak ada maksud yang tentu untuk menyakiti orang
atau merusak barang itu.
Mengenai yang dimaksud dengan “tenaga bersama”, S.R. Sianturi, S.H.,
dalam bukunya Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, mengatakan
bahwa beberapa sarjana berpendapat tidak cukup hanya dua orang saja. Ini karena
istilah “dengan tenaga bersama” lebih mengindikasikan suatu gerombolan manusia.
Akan tetapi ada sarjana lainnya (antara lain Noyon) yang berpendapat bahwa
subjek inin sudah memenuhi syarat jika ada dua orang (atau lebih).
Penggunaan pasal ini dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan
Negeri Bengkalis Nomor : 139 / Pid.B / 2011 / PN.Bks. Dalam putusan ini,
terdakwa bersama-sama dengan orang lain (yang telah dipidana) melakukan aksi
dengan menggunakan kekerasan terhadap barang, yaitu memecahkan kaca nako dengan
menggunakan batang kayu bambu runcing yang dilakukan oleh terdakwa dan beberapa
orang lainnya, selain itu beberapa dari mereka mencoret dinding Kantor Balai
Desa menggunakan cat semprot "PILOK”' berwarna merah dengan tulisan
"DISEGEL KANTOR SETAN", bahkan ada yang melempar telur busuk
kedinding Kantor Balai Desa Sungai Cingam. Atas perbuatan terdakwa dan
orang-orang tersebut, terdakwa dipidana berdasarkan Pasal 170 ayat (1) KUHP.
Selain itu, dalam dataran praktek perihal aturan
untuk menjerat pelaku vandalism juga masih sangat lemah, biasanya pelaku
dijerat menggunakan Pasal 489 ayat (1)
KUHP:
“Kenakalan terhadap orang atau barang yang dapat
menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan, diancam dengan pidana denda paling
banyak dua ratus dua puluh lima rupiah”
Makna “kenakalan” dalam pasal dimaksud menurut R
Soesilo adalah semua perbuatan orang, berlawanan dengan ketertiban umum,
ditujukan pada orang, binatang dan barang yang dapat menimbulkan bahaya,
kerugian atau kesusahan, yang tidak dapat dikenakan salah satu pasal khusus
dalam KUHP.
Mengenai denda dalam pasal 489 ayat (1) KUHP,
berdasarkan Pasal 3 dan 4 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2012
tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP,
menyatakan sebagai berikut:
Pasal 3 PERMA No. 2 Tahun 2012:
“Tiap jumlah maksimum hukuman dengan diancamakan
dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat (1) dan ayat (2), 303 bis ayat (1) dan ayat
(2) dilipatgandakan menjadi 1000 (seribu kali)
Pasal 4 PERMA No. 2 Tahun 2012:
“Dalam menangani perkara tindak pidana yang
didakwa dalam pasal-pasal KUHP yang dapat dijatuhkan pidana denda, Hakim wajib
memperhatikan Pasal 3 diatas”
Selain dari sudut pandang hukum pidana, pendekatan untuk mengatasi aksi
vandalisme ini juga dapat menggunakan hukum perdata. Ketentuan pasal yang
paling dimungkinkan dalam mengatasi aksi tersebut adalah Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dengan melakukan
gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum. Adapun isi pasal yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena
kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”
Unsur-unsur perbuatan
melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPer sebagai berikut:
a. Harus ada perbuatan (positif maupun
negatif);
b. Perbuatan itu harus melawan hukum;
c. Ada kerugian;
d. Ada hubungan sebab akibat antara
perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian;
e. Ada kesalahan.
Sedangkan, yang termasuk
ke dalam perbuatan melawan hukum itu sendiri adalah perbuatan-perbuatan yang:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku;
2. Melanggar hak subjektif orang lain;
3. Melanggar kaidah tata susila;
4. Bertentangan dengan azas kepatutan
ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam
pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.
Hal yang menjadi titik poin adalah harus ada perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku.
Perbuatan tersebut melawan hukum yaitu melanggar hak dasar manusia untuk hidup tentram dan bebas dari gangguan baik
atas diri sendiri
dan keluarga maupun atas barang-barang
milik kita. Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian, baik
materiil dan imateriil. Kerugian yang dialami
merupakan akibat dari perbuatan si pelaku
Penanganan Hukum
terhadap Anak sebagai Pelaku
Vandalisme
Sering kali pelaku vandalisme yang ditemui adalah
remaja dengan berusia anak (masih dibawah 18 tahun sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak), kondisi tersebut dalam kacamata
penegakan hukum ternyata tidak dapat dilakuakan sama seperti orang dewasa pada
umum, hal ini menjadi berbeda karena jika seorang anak menjadi pelaku kejahatan
atau dikenal dengan istilah Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) sebagai pelaku
mendapatkan perlakukan khusus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) (ketentuan ini berlaku
sebagai konsekuensi pemenuhan asas lex
spesialis derogate legi generalis terhadap KUHP dimana untuk penanganan ABH
menggunakan undang-undang khusus).
Namun ketentuan khusus sebagaimana dijelaskan diatas
untuk ABH bersifat terbatas/limitative, kategori ABH yang mendapatkan penangann
khusus sebagaimana diatur dalam UU SPPA, yaitu:
•
Anak yang
berkonflik dengan hukum/ Pelaku
•
Anak yang
menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) dan
•
Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi )
Selain itu ABH yang dimaksud sudah masuk
kategori usia pertanggungjawaban pidana, yaitu:
1.
Usia pertanggung jawaban pidana Anak sekurang-kurangnya 12 tahun
2.
batasan usia anak yang bisa dikenakan
penahanan sekurang-kurangnya 14 tahun
3.
Batas usia anak yang dapat dijatuhi pidana adalah
sekurang-kurangnya 14 tahun
Selanjutnya ABH tersebut
akan mendapatkan proses litigasi yang cepat dan berbatas waktu dan wajib
diupayakan proses diversi[12] yang
merupakan upaya mediasi penal[13] dan
diakui dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Proses diversi ini juga
ternyata dalam aturannya berisfat limitatif, karena proses diversi hanya
berlaku 1 (satu) kali untuk ABH pelaku dalam semua tingkatan proses baik oleh
penyidik, penuntut umum maupun hakim dengan ketentuan yang dilakukan pelaku
tersebut merupakan kejahatan pertama kali dan bukan pengulangan, usia pelaku
masih anak dan ancaman hukuman dibawah 7 (tujuh) tahun, sebagimana juga diatur
dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No.
65 tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang
Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun.
Alasan utama adanya
perlakukan khusus bagi anak yang berkonflik dengan hukum baik pelaku, korban
maupun saksi adalah lebih kepada perubahan paradigma penegakan hukum dalam
hukum pidana tentang keadilan, dari Retributive Justice (menekankan kepada
pembalasan dan anak sebagai objek) kemudian ke Restitutive Justice (menekankan
keadailan dalam bentuk ganti rugi) dan yang terakhir pada saat ini untuk
mencapai Restorative Justice dengan menekankan kepada beberapa hal, yaitu:
-
Menekankan keadilan pada perbaikan/ pemulihan
keadaan
-
Berorientasi pada korban
-
Memberikan kesempatan pada pelaku untuk
mengungkapkan rasa sesalnya pada korban dan sekaligus bertanggung jawab.
-
Memberikan kesempatan kepada pelaku dan korban
untuk bertemu untuk mengurangi permusuhan dan kebencian.
-
Mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat
-
Melibatkan anggota masnyarakat dalam upaya
pemulihan
Melihat dari paparan berkenaan dengan penanganan hukum
terhadap ABH pelaku, termasuk pelaku vandalism memang perlu ada perlakukan
berbeda dan masyarakat perlu tahu tentang peraturan ini, karena posisi ABH
sebagai pelaku sebenarnya adalah juga korban yang perlu diselamatkan untuk
dipulihkan agar asset bangsa masa depan ini dapt lebih baik lagi dan tidak
terjadi pengulangan untuk kejahatan yang lain dimasa akan datang, serta menjadi
tanggung jawab setiap pihak tidak hanya bagi orang tua pelaku tetapi juga
masyarakat dan Negara.
Penutup
Penanganan aksi vandalisme dari kacamata hukum positif
di Indonesia tidak hanya sebatas penegakan hukum pidana saja tetapi juga dapat
menggunakan pendekatan hukum perdata. Hal ini menjadi penting ketika pelaku
tidak hanya dihukum baik berupa tindakan namun juga perlu memperhatikan
kepentingan korban, agar ada efek jera dan proses perbaikan terhadap benda atau
asset yang dirusak
Selain itu penanganan hukum bagi pelaku vandalisme
juga harus memperhatikan siapa pelakunya, dewasa atau masih anak-anak. Jika
pelakunya masih anak maka perlu ada penanganan khusus agar sang anak dapat
mengikuti proses rehabilitasi terhadap perilaku yang pernah dilakukan dan juga
tidak ada pengulangan atas tindakan serupa ataupun kejahatan lainnya di masa
akan datang.
[1] Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta
sekaligus Advokat di Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum Sahabat Anak, Perempuan
dan Keluarga (SAPA)
[2] Pengertian Remaja Menurut Para Ahli, http://belajarpsikologi.com/pengertian-remaja/,
diakses pada 20 April 2016 jam 21.40 WIB
[3] Ibid
[4] Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kenakalan Remaja, http://grupsyariah.blogspot.co.id/2012/06/faktor-faktor-penyebab-terjadinya.html,
diakses pada 20 April 2016 jam 23.33 WIB
[5] 10 Penyebab Kenakalan Remaja, http://health.detik.com/read/2011/01/23/100537/1552483/1075/10-penyebab-kenakalan-remaja,
diakses pada 20 April 2016 jam 23.40 WIB
[6] Ibid
[7] Perbedaan Streetart, Mural dan Vandalisme, http://warihsenoz.blogspot.co.id/2016/01/perbedaan-streetart-mural-dan-vandalisme.html,
diakses pada 20 April 2016 jam 22.00 WIB
[8] Ibid
[9] Vandalisme, Graffiti dan Mural Sama Gak Sih??, http://www.kompasiana.com/irraisa.lisseptiyana/vandalisme-graffiti-dan-mural-sama-gak-sih_54f74bcda33311af2c8b45a3, diakses pada 20 April 2016 jam 22.15 WIB
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan
Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional / Tenaga Kesejateraan Sosial
berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. (Pasal 8 UU SPPA), sedangkan Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke
proses di luar peradilan pidana. (Pasal 1 UU SPPA)
[13] Mediasi Penal adalah
cara penyelesaian perkara pidana anak melalui proses perundingan yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka, dan pihak lain yang
terkait untuk memperoleh
kesepakatan perdamaian dengan dibantu Mediator