Apa yang seharusnya dilakukan jika ternyata mobil atau motor anda yang masih anda kredit diambil secara paksa oleh debt collector karena anda telat membayar untuk beberapa bulan ? jika anda mengalaminya silahkan konsultasikan langkah hukumnya dengan kami.
-
Officium Noblie
Advokat adalah profesi mulia
-
Fiat Justitia Ruat Coelum
"Hendaklah Keadilan ditegakan, walaupun langit akan runtuh"
-
Fiat Justitia et Pereat Mundus
"Hendaklah keadilan ditegakan, walaupun dunia harus binasa"
-
Presumption of Innocence
"Praduga tidak bersalah, adalah azas dimana seseorang dinyatakan tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan bersalah"
-
Unus Testis Nullus Testis
"Adalah asas yang menolak kesaksian keterangan dari satu orang saksi saja"
Showing posts with label Tanya Jawab. Show all posts
Showing posts with label Tanya Jawab. Show all posts
Apakah Fotocopy Dokumen bisa menjadi alat Bukti di Pengadilan ?
Berdasarkan kepada Pasal 1888 KUH Perdata disebutkan mengenai pengaturan mengenai salinan/fotocopy dari sebuah surat/dokumen, yaitu :
“Kekuatan
pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta
yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah
dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu
sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan
mempertunjukkannya”
Dalam praktik, Mahkamah Agung juga telah memberikan penegasan atas bukti berupa fotocopy dari surat/dokumen, dengan kaidah hukum sebagai berikut:
“Surat
bukti fotokopi yang tidak pernah diajukan atau tidak pernah ada surat
aslinya, harus dikesampingkan sebagai surat bukti.” (Putusan MA No.:
3609 K/Pdt/1985)
Sesuai dengan pendapat dari Mahkamah Agung dalam Putusan MA No. 3609 K/Pdt/1985 tersebut, maka fotocopy dari
sebuah surat/dokumen yang tidak pernah dapat ditunjukkan aslinya, tidak
dapat dipertimbangkan sebagai alat bukti surat menurut Hukum Acara
Perdata (Vide: Pasal 1888 KUH Perdata).
Jadi, dalam hal tidak dapat ditunjukkannya dokumen asli dari fotocopy
perjanjian bawah tangan tersebut, saksi sebagai salah satu alat bukti
dapat berfungsi untuk memberikan keterangan kepada hakim, bahwa benar
pernah ada suatu kesepakatan yang dibuat secara bawah tangan oleh para
pihak yang namanya tercantum dalam fotocopy perjanjian bawah tangan tersebut, untuk memperjanjikan suatu hal tertentu (Vide Pasal 1320 Jo. 1338 KUH Perdata).
Argumentasi
mengenai hal tersebut juga telah ditegaskan oleh Mahkamah Agung dalam
Putusannya No.: 112 K/Pdt/Pdt/1996, tanggal 17 September 1998, yang
memiliki kaidah hukum sebagai berikut:
“Fotocopy surat tanpa disertai surat/dokumen aslinya dan tanpa dikuatkan oleh Keterangan saksi dan alat bukti lainnya, tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam Persidangan Pengadilan (Perdata)
Mengenai pertanyaan jumlah minimum saksi untuk membuktikan fotocopy perjanjian di bawah tangan, ada baiknya kita memperhatikan ketentuan Pasal 1905 KUH Perdata, yang berbunyi:
“Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka pengadilan tidak boleh dipercaya.”
Dari
ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam hal tidak
adanya bukti lain, selain saksi yang dapat diajukan oleh seseorang untuk
menguatkan dalilnya, maka jumlah saksi yang harus diajukan orang
tersebut adalah minimal dua orang saksi (unus testis nullus testis).
Namun
demikian, dalam praktik, ketentuan mengenai pembuktian dalam perkara
perdata tersebut dapat berkembang dan bermanuver. Misalnya dalam hal
keberadaan fotocopy dari perjanjian bawah tangan ini ternyata
diakui dan tidak disangkal oleh pihak lawan, tentunya hal ini dapat
dikualifisir sebagai pengakuan di muka hakim, yang merupakan bukti yang
sempurna (Vide: Pasal 176 HIR), atau apakah ada persangkaan (kesimpulan) yang ditarik oleh hakim (Vide: Pasal 173 HIR) dari bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak serta fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
Sumber : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51ab049c2a0d2/kekuatan-pembuktian-fotokopi-dokumen
Penjelasan Pasal 372 dan 374 tentang Penggelapan
Pasal 372 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Pasal 374 KUHP:
Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Mengenai Pasal 372 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 258) mengatakan bahwa penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam Pasal 362 KUHP. Bedanya ialah bahwa pada pencurian barang yang dimiliki itu masih belum berada di tangan pencuri dan masih harus “diambilnya”, sedangkan pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tindak pidana tidak dengan jalan kejahatan.
Sedangkan mengenai Pasal 374 KUHP, R. Soesilo menjelaskan bahwa ini adalah penggelapan dengan pemberatan. Pemberatan-pemberatan itu adalah:
1. Terdakwa diserahi menyimpan barang yang digelapkan itu karena hubungan pekerjaannya (persoonlijke dienstbetrekking), misalnya perhubungan antara majikan dengan buruh;
2. Terdakwa menyimpan barang itu karena jabatannya, misalnya tukang binatu menggelapkan pakaian yang dicucikan kepadanya;
3. Karena mendapat upah uang (bukan upah yang berupa barang), misalnya pekerja stasiun membawakan barang orang penumpang dengan upah uang, barang itu digelapkannya.
(Sumber : www.hukumonline.com)
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Pasal 374 KUHP:
Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Mengenai Pasal 372 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 258) mengatakan bahwa penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam Pasal 362 KUHP. Bedanya ialah bahwa pada pencurian barang yang dimiliki itu masih belum berada di tangan pencuri dan masih harus “diambilnya”, sedangkan pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tindak pidana tidak dengan jalan kejahatan.
Sedangkan mengenai Pasal 374 KUHP, R. Soesilo menjelaskan bahwa ini adalah penggelapan dengan pemberatan. Pemberatan-pemberatan itu adalah:
1. Terdakwa diserahi menyimpan barang yang digelapkan itu karena hubungan pekerjaannya (persoonlijke dienstbetrekking), misalnya perhubungan antara majikan dengan buruh;
2. Terdakwa menyimpan barang itu karena jabatannya, misalnya tukang binatu menggelapkan pakaian yang dicucikan kepadanya;
3. Karena mendapat upah uang (bukan upah yang berupa barang), misalnya pekerja stasiun membawakan barang orang penumpang dengan upah uang, barang itu digelapkannya.
(Sumber : www.hukumonline.com)
Telat Bayar Hutang Apakah Bisa Dipidana ?
Perjanjian utang piutang termasuk kedalam masalah perdata - yaitu perjanjian antara kreditur dan debitur, jika seseorang meminjam uang namun telat tidak dapat melunasinya dengan tepat waktu. Tidak seketika dapat dipidana, Namun jika telat untuk membayar maka dikatakan telah lalai wanprestasi sebagaimana berikut :
Wanprestasi ini pada dasarnya dapat terjadi karena 4
hal:
- Melakukan hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan berdasarkan perjanjian.
- Terlambat memenuhi kewajiban.
- Melakukan kewajiban (misalnya pembayaran) namun masih kurang atau baru sebagian; atau
- Tidak memenuhi kewajiban sama sekali.
Pasal 359 KUHP Pada Kasus Kecelakaan Lalu Lintas
Bagaimana pertanggungjawaban pidana
seorang pengemudi kendaraan bermotor yang mengakibatkan kematian dalam
kecelakaan lalu lintas? Dan apa dasar hukumnya (KUHP dan UU LLAJ) dan biasanya
hakim menerapkan yang mana? Terima kasih
Jawaban:
Ilman Hadi
Kami asumsikan bahwa kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian tersebut disebabkan kelalaian pengemudi kendaraan bermotor. Di dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengemudi kendaraan bermotor yang mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas adalah Pasal 359 KUHP:
Pasal 359
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”
Namun, saat ini telah terdapat peraturan perundang-undangan yang lebih khusus untuk menjerat pengemudi kendaraan bermotor yang lalai, yaitu UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”), Di dalam UU LLAJ, pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengemudi kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kematian orang lain adalah Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ, yang berbunyi:
“Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan mana yang digunakan untuk menjerat si pelaku, hal tersebut merupakan kewenangan dari penuntut umum, dan bukan hakim. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 137 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang berbunyi:
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Terkait ini, di dalam ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP disebutkan bahwa:
“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP tersebut, karena kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian telah diatur dalam UU LLAJ sebagai peraturan yang bersifat khusus, maka penuntut umum seharusnya menerapkan ketentuan Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ di dalam dakwaan, dan bukan Pasal 359 KUHP.
Kendati demikian, dalam hal ini ada hal lain yang juga harus diperhatikan yaitu masalah waktu terjadinya tindak pidana atau tempus delicti, sebagaimana dijelaskan dalam artikel Dakwaan yang Belum Menggunakan Peraturan Baru sebagai berikut:
“Dalam hal ada undang-undang baru, sebelumnya harus diteliti dahulu tempus (waktu) kejadian tindak pidana tersebut. Apabila pada waktu kejadiannya undang-undang yang baru itu sudah berlaku, maka yang diberlakukan tentu adalah undang-undang yang baru tersebut. Hal tersebut sesuai asas lex posteriori derogat legi priori, yaitu undang-undang yang terbaru mengesampingkan undang-undang yang lama.
“Namun bila waktu kejadiannya adalah pada saat undang-undang yang baru itu belum berlaku, maka harus diteliti, aturan mana yang lebih menguntungkan bagi terdakwa. Apabila undang-undang baru itulah yang lebih menguntungkan bagi terdakwa, maka yang dipakai seharusnya adalah undang-undang yang baru tersebut. Hal tersebut sesuai dengan salah satu asas dalam hukum pidana yang diatur dalam pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi:
“Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya.”
Di sisi lain, saat ini sudah terdapat putusan-putusan Mahkamah Agung yang menggunakan Pasal 310 ayat (1) UU LLAJ untuk kasus-kasus seperti Anda ceritakan. Salah satu contohnya adalah Putusan MA No. 403K/Pid/2011 tanggal 28 Juni 2011.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) Staatsblad Nomor 732 Nomor 1915
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Putusan:
Putusan Mahkamah Agung Nomor 403K/Pid/2011 tanggal 28 Juni 2011
Jawaban:
Ilman Hadi
Kami asumsikan bahwa kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian tersebut disebabkan kelalaian pengemudi kendaraan bermotor. Di dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengemudi kendaraan bermotor yang mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas adalah Pasal 359 KUHP:
Pasal 359
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”
Namun, saat ini telah terdapat peraturan perundang-undangan yang lebih khusus untuk menjerat pengemudi kendaraan bermotor yang lalai, yaitu UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”), Di dalam UU LLAJ, pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengemudi kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kematian orang lain adalah Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ, yang berbunyi:
“Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan mana yang digunakan untuk menjerat si pelaku, hal tersebut merupakan kewenangan dari penuntut umum, dan bukan hakim. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 137 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang berbunyi:
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Terkait ini, di dalam ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP disebutkan bahwa:
“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP tersebut, karena kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian telah diatur dalam UU LLAJ sebagai peraturan yang bersifat khusus, maka penuntut umum seharusnya menerapkan ketentuan Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ di dalam dakwaan, dan bukan Pasal 359 KUHP.
Kendati demikian, dalam hal ini ada hal lain yang juga harus diperhatikan yaitu masalah waktu terjadinya tindak pidana atau tempus delicti, sebagaimana dijelaskan dalam artikel Dakwaan yang Belum Menggunakan Peraturan Baru sebagai berikut:
“Dalam hal ada undang-undang baru, sebelumnya harus diteliti dahulu tempus (waktu) kejadian tindak pidana tersebut. Apabila pada waktu kejadiannya undang-undang yang baru itu sudah berlaku, maka yang diberlakukan tentu adalah undang-undang yang baru tersebut. Hal tersebut sesuai asas lex posteriori derogat legi priori, yaitu undang-undang yang terbaru mengesampingkan undang-undang yang lama.
“Namun bila waktu kejadiannya adalah pada saat undang-undang yang baru itu belum berlaku, maka harus diteliti, aturan mana yang lebih menguntungkan bagi terdakwa. Apabila undang-undang baru itulah yang lebih menguntungkan bagi terdakwa, maka yang dipakai seharusnya adalah undang-undang yang baru tersebut. Hal tersebut sesuai dengan salah satu asas dalam hukum pidana yang diatur dalam pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi:
“Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya.”
Di sisi lain, saat ini sudah terdapat putusan-putusan Mahkamah Agung yang menggunakan Pasal 310 ayat (1) UU LLAJ untuk kasus-kasus seperti Anda ceritakan. Salah satu contohnya adalah Putusan MA No. 403K/Pid/2011 tanggal 28 Juni 2011.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) Staatsblad Nomor 732 Nomor 1915
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Putusan:
Putusan Mahkamah Agung Nomor 403K/Pid/2011 tanggal 28 Juni 2011
Apakah Pengertian Lex Strica dan Lex Certa
Marjanee (2006) telah mengemukakan bahwa asas legalitas yang menuntut
kepastian hukum harus memenuhi syarat tertulis (lex scripta). Itu harus
ditafsirkan seperti apa yang dibaca (lex stricta) dan tidak multitafsir
(lex certa).
Sumber : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=257553
Sumber : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=257553
Perjanjian Sewa Menyewa
Sewa menyewa adalah perjanjian, dimana pihak yang menyewakan mengikatkan diri untuk memberikan kepada pihak penyewa kenikmatan atas suatu benda selama waktu tertentu dengan pembayaran harga sewa tertentu (Pasal 1548 KUHPer).
Berdasarkan Pasal 1548 ini, maka ada 4 unsur sewa menyewa yaitu :
1. Subjek sewa menyewa.
2. Perbuatan sewa menyewa.
3. Objek sewa menyewa.
4. Jangka waktu sewa menyewa.
Dalam bahasa Inggris, perjanjian sewa menyewa disebut hire agreement.
Jangka waktu sewa dalam Pasal 1548 KUHPer dinyatakan dengan "waktu tertentu". Dalam praktek sewa menyewa yang dimaksud waktu tertentu adalah jangka waktu yang dihitung menurut kelaziman, misalnya jumlah jam, hari, minggu, bulan dan tahun. Jangka waktu tersebut dapat juga digunakan dalam bentuk carter, baik carter dalam bentuk waktu atau carter dalam bentuk perjalanan.
Menurut Pasal 1548 KUHPer dinyatakan sewa menyewa dianggap sudah terjadi ketika pihak penyewa dan pihak yang menyewakan mencapai kata sepakat tentang benda dan harga sewa.
Sumber :
Muhammad, Abdulkadir., Konsep Sewa Menyewa dalam Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal. 345 & hal 351.
Konsultasi Masalah Sewa Menyewa :
Kontak kami melalui SMS ke 0813.17.906.136
Konsultasi Hukum 24 Jam - Konsultasi Hukum Online Murah 24 Jam
Konsultasi Skripsi, Tesis dan Desertasi di Bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
Konsultasi Hukum 24 Jam, menerima konsultasi skripsi, tesis dan desertasi dengan tema penelitian di bidang Hak Kekayaan Intelektual. Dalam konsultasi ini, akan diberikan arahan topik-topik untuk dijadikan bahan skripsi, tesis dan desertasi mengenai kasus-kasus Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia.
Jika anda butuh konsultasi silahkan SMS ke 0813.17.906.136
Jika anda butuh konsultasi silahkan SMS ke 0813.17.906.136
Lembaga Kerjasama Bipartit
Adalah forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah tentang masalah hubungan industrial di perusahaan yang anggotanya terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja. Setiap pengusaha yang mempekerjakan 50 orang pekerja atau lebih membentuk lembaga kerjasama bipartit. (Pengantar Hukum Indonesia, hal. 143. Masriani. Y.T, 2013, Sinar Grafika)
Konsultasi Hukum Murah Masalah Hubungan Industrial Silahkan Kontak Kami.
Bagaimanakah Kalau Sertifikat Jaminan di Bank Hilang ? Apa yang Harus Kita Lakukan ?
Prosedur yang Ditempuh Jika sertifikat Tanah Hilang
Anda bisa meminta ganti rugi kepada pihak Bank atas Kerugian yang ditimbulkan dari hilangnya sertifikat rumah anda. (Ombudsman melalui rekomendasinya Nomor 010/REK/0001.2013/PBP.02/2013).
Bank yang menghilangkan sertifikat tanah anda harus bertanggung jawab membuat sertifikat pengganti ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Jika kedua langkah tersebut tidak dilakukan oleh Bank anda bisa menuntut Bank tersebut secara pidana dengan tuduhan penggelapan. Dengan terlebih dahulu melaporkan kepada kepolisian.
Berdasarkan Pasal
Pasal 372 KUHP :
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
Pasal 406 KUHP :
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tidak dapat dipakai atau menghilangkan suatu benda yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau denda paling banyak Rp. 4.500,00
Jadi saudara bisa mengacu kepada dua Pasal diatas untuk melakukan laporan kepada kepolisian atas tindakan Bank tersebut, jika pihak Bank tidak mau melakukan ganti rugi dan mengganti sertifikat rumah saudara.
LANGKAH-LANGKAH MEMPEROLEH SERTIFIKAT TANAH PENGGANTI
Untuk sertifikat tanah yang hilang atau rusak, sesuai dengan hukum yang berlaku, pemegang hak atas tanah dapat mengajukan permohonan kepada Kantor badan Pertanahan Nasional (BPN) agar menerbitkan sertifikat pengganti. Sebab sertifikat asli yang dimiliki oleh pemegang hak atas tanah hanya salinan dari buku tanah yang disimpan di kantor BPN. Oleh karena itu, permohonan sertifikat pengganti dapat diajukan oleh pihak yang namanya tercantum dalam sertifikat tersebut atau pihak lain yang merupakan penerima hak berdasarkan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau kutipan risalah lelang.
Adapun prosedur yang harus dilakukan pemegang hak atas tanah untuk mendapatkan sertifikat pengganti adalah dengan melampirkan dokumen berikut :
1. Surat laporan kehilangan sertifikat dari kepolisian setempat.
2. Fotokopi sertifikat yang hilang.
3. Surat keterangan dari lurah setempat yang menerangkan bahwa memang benar ada tanah yang tertera dalam fotokopi sertifikat tersebut dan berlokasi di kelurahan itu.
4. Bukti pengumuman sertifikat hilang dalam surat kabar sebanyak 2 x 2 bulan terakhir.
5. Bukti pengumuman sertifikat hilang dalam Lembaran Berita Negara Republik Indonesia sebanyak 2 x 2 bulan
6. Fotokopi KTP pemohon yang dilegalisir
7. Bukti kewarganegaraan RI yang dilegalisir
8. Bukti pembayaran lunas PBB tahun terakhir
9. Aspek penatagunaan tanah jika terjadi perubahan penggunaan tanah
Apabila dokumen tersebut diatas telah dilengkapi, maka kantor BPN akan melakukan peninjauan lokasi dan melakukan pengukuran ulang untuk memastikan bahwa keadaan tanah tersebut masih seperti yang tertera dalam buku Tanah dan fotokopi sertifikat pemohon. Setelah dilakukan pengukuran, proses penerbitan sertifikat akan dilanjutkan. Apabila dalam prosesnya, tidak ada pihak-pihak yang mengajukan keberatan atau gugatan, maka sertifikat pengganti akan terbit dalam waktu 3 bulan setelah permohonan diterima secara lengkap.
Status sertifikat tanah yang baru tersebut sama sah-nya dengan sertifikat aslinya, karena dikeluarkan oleh BPN dan dicatatkan dalam buku tanah.
Demikian penjelasan kami.
Konsultasihukum24jam.blogspot.com