Oleh : Johan Imanuel, S.H / Advokat
Banyak berita mengenai Kericuhan
tanggal 21-22 Mei 2019 yang beredar di sosial media menimbulkan respon bagi
Pemerintah. Pemerintah dalam berbagai berita yang disiarkan oleh media
elektronik melakukan pembatasan akses sosial media.
Pembatasan tersebut menuai banyak
respon dari banyak kalangan dan aktivis karena dinilai bertentangan dengan UUD
1945 Pasal 28F : Setiap orang berhak
untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.” maupun instrunmen hukum Hak Asasi manusia lainnya.
Rasanya kurang, jika tidak meninjau
pembatasan akses sosial media tersebut melalui UU Nomor 36 Tahun 1999 Tentang
Telekomunikasi (UU Telekomunikasi). UU Telekomunikasi ini diundangkan pada
tanggal 8 September 1999 mencabut UU sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1989 Tentang Telekomunikasi.
UU Telekomunikasi ini
dalam Penjelasan bagian Umum dinyatakan bahwa Pemerintah memperhatikan beberapa
hal yaitu (1)Perubahan lingkungan global
dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang berlangsung sangat oepat telah
mendorong terjadinya perubahan mendasar, melahirkan lingkungan telekomunikasi
yang baru, dan perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi,
termasuk hasil konvergensi dengan teknologi informasi dan penyiaran, sehingga
dipandang perlu mengadakan penataan kembali penyelenggaraan telekomunikasi
nasional.; (2)Penyesuaian dalam penyelenggaraan telekomunikasi di tingkat
nasional sudah merupakan kebutuhan nyata, mengingat meningkatnya kemampuan
sektor swasta dalam penyelenggaraan telekomunikasi, penguasaan teknologi
telekomunikasi, dan keunggulan kompetitif dalam rangka memenuhi kebutuhan
masyarakat. (3) Perkembangan teknologi telekomunikasi di tingkat internasional
yang diikuti dengan peningkatan penggunaannya sebagai salah satu komoditas
perdagangan, yang memiliki nilai komersial tinggi, telah mendorong terjadinya
berbagai kesepakatan multilateral. (4)Sebagai negara yang aktif dalam membina
hubungan antarnegara atas dasar kepentingan nasional, keikutsertaan Indonesia
dalam berbagai kesepakatan multilateral menimbulkan berbagai konsekuensi yang
harus dihadapi dan diikuti. Sejak penandatanganan General Agreement on Trade
and Services (GATS) di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 15 April 1994, yang
telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994, penyelenggaraan
telekomunikasi nasional menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
perdagangan global; (5) Sesuai dengan prinsip perdagangan global, yang
menitikberatkan pada asas perdagangan bebas dan tidak diskriminatif, Indonesia
harus menyiapkan diri untuk menyesuaikan penyelenggaraan telekomunikasi.
Sehingga peran Pemerintah dititikberatkan pada pembinaan meliputi penentuan
kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian dengan mengikutsertakan
peran masyarakat.
Terkait pembatasan akses
sosial media, dalam UU Telekomunikasi itu sendiri tidak secara terang benderang
mengatur hal tersebut. Namun ada satu Pasal yang dapat memberikan keleluasaan
bagi pemerintah terhadap penyelenggara telekomunikasi. Dalam Pasal 21 UU
Telekomunikasi dinyatakan bahwa “Penyelenggara
telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi
yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau
ketertiban umum”. Yang ditafsir resmi dalam Penjelasan Pasal 21: “Penghentian kegiatan usaha penyelenggaraan
telekomunikasi dapat dilakukan oleh pemerintah setelah diperoleh informasi yang
patut diduga dengan kuat dan diyakini bahwa penyelenggaraan telekomunikasi
tersebut melanggar kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban
umum.”
Uraian diatas menunjukan
bahwa Pemerintah mengacu ke Pasal 21 UU Telekomunikasi tersebut dalam hal
pembatasan akses sosial media saat ini. Namun demikian sudakah penerapan
tersebut melaksanakan asas dan tujuan yang ditegaskan dalam UU Telekomunikasi?
Menjawab hal ini maka harus dipaparkan asas dan tujuan yang dinyatakan dalam
Pasal 2 dan 3 UU Telekomunikasi.
Dalam Pasal 2 UU
Telekomunikasi dinyatakan bahwa “Telekomunikasi
diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum,
keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.”
“Asas manfaat berarti bahwa pembangunan
telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi akan lebih berdaya guna
dan berhasil guna baik sebagai infrastruktur pembangunan, sarana
penyelenggaraan pemerintahan, sarana pendidikan, sarana perhubungan, maupun
sebagai komoditas ekonomi yang dapat lebih meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Iahir batin”
“Asas adil dan merata adalah bahwa
penyelenggaraan telekomunikasi memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama
kepada semua pihak yang memenuhi syarat dan hasil-hasilnya dinikmati oleh
masyarakat secara adil dan merata.”
“Asas kepastian hukum berarti bahwa pembangunan
telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi harus didasarkan kepada
peraturan perundang-undangan yang menjamin kepastian hukum, dan memberikan perlindungan
hukum baik bagi para investor, penyelenggara telekomunikasi, maupun kepada
pengguna telekomunikasi.”
“Asas kepercayaan pada diri sendiri,
dilaksanakan dengan memanfaatkan secara maksimal potensi sumber daya nasional
secara efisien serta penguasaan teknologi telekomunikasi, sehingga dapat
meningkatkan kemandirian dan mengurangi ketergantungan sebagai suatu bangsa
dalam menghadapi persaingan global.”
“Asas kemitraan mengandung makna bahwa
penyelenggaraan telekomunikasi harus dapat mengembangkan iklim yang harmonis,
timbal balik, dan sinergi dalam penyelenggaraan telekomunikasi.”
“Asas keamanan dimaksudkan agar penyelenggaraan
telekomunikasi selalu memperhatikan faktor keamanan dalam perencanaan,
pembangunan, dan pengoperasiannya.”
“Asas etika dimaksudkan agar dalam
penyelenggaraan telekomunikasi senantiasa dilandasi oleh semangat
profesionalisme, kejujuran, kesusilaan, dan keterbukaan.”
Kemudian mengenai tujuan dinyatakan
dalam Pasal 3 UU Telekomunikasi bahwa “Tujuan penyelenggaraan telekomunikasi dalam
ketentuan ini dapat dicapai, antara lain, melalui reformasi telekomunikasi
untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan telekomunikasi dalam rangka
menghadapi globalisasi, mempersiapkan sektor telekomunikasi memasuki persaingan
usaha yang sehat dan profesional dengan regulasi yang transparan, serta membuka
lebih banyak kesempatan berusaha bagi pengusaha kecil dan menengah.“
Berdasarkan asas dan tujuan diatas
dapat dilihat bahwa Pemerintah hanya melandasi asas keamanan dan etika dalam
pembatasan akses sosial media. Namun banyaknya kritik dari beberapa kalangan
sebenarnya tidak akan terjadi jika Pemerintah dalam rangka pembinaan
telekomunikasi melakukan pembinaan secara bersama-sama dengan masyarakat
terlebih dahulu sebelum membuat kebijakan.
Peran serta masyarakat ini telah
dtegaskan dalam Pasal 4 UU
Telekomunikasi yang dapat disampaikan berupa penyampaian pemikiran dan pandangan
yang berkembang dalam masyarakat mengenai arah pengembangan pertelekomunikasian
dalam rangka penetapan kebijakan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan di
bidang telekomunikasi. Peran Serta masyarakat ini diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi
yang diundangkan tanggal 11 Juli 2000 (PP Penyelenggaran Telkomunikasi).
Terkait mengenai penyampaian
masyarakat dalam Pasal 90 dan Pasal 91 PP Penyelenggaraan Telekomunikasi pada
intinya menegaskan bahwa dalam rangka melibatkan peran serta masyarakat
dibentuk lembaga peran serta masyarakat yang terdiri dari : a) asosiasi di
bidang usaha telekomunikasi;b)asosiasi profesi telekomunikasi;c) asosiasi
produsen peralatan telekomunikasi;d) asosiasi pengguna jaringan dan jasa
telekomunikasi;e) masyarakat intelektual di bidang telekomunikasi.
Kemudian
lanjut dalam Pasal 92 PP Penyelenggaran Telekomunikasi bahwa Lembaga peran
serta masyarakat di bidang telekomunikasi mempunyai tugas menyampaikan pemikiran
dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai arah pengembangan
pertelekomunikasian dalam rangka penetapan kebijakan, pengaturan, pengendalian
dan pengawasan di bidang telekomunikasi dengan disampaikan secara tertulis
kepada pemerintah baik diminta maupun tidak diminta serta Pemerintah harus
mempertimbangkan dengan seksama pemikiran dan pandangan.
Berdasarkan
hal-hal diatas maka Pemerintah kedepannya dalam hal ini Kementerian Komunikasi
dan Informatika sebaiknya tetap melibatkan peran serta masyarakat terlebih
dahulu sebelum menetapkan segala kebijakan yang akan diterapkan dalam
masyarakat sehingga kebijakan tersebut dapat bermanfaat, adil dan merata.
Penulis :Johan Imanuel, S.H / Advokat