Oleh Johan Imanuel dan Jarot Maryono (Advokat dan
Praktisi Hukum Ketenagakerjaan)
Jelang Debat Capres Ketiga, 17
Maret 2019, salah satu tema adalah ketenagakerjaan. Sebagai praktisi di bidang
ketenagakerjaan, penulis merasa perlu menyampaikan beberapa isu ketenagakerjaan
yang belum terselesaikan sehingga dapat menambah referensi bagi masyarakat
Indonesia. Mengapa? Hal ini dapat dilihat dari Janji Pemerintahan Presiden
Jokowi khususnya di bidang ketenagakerjaan mana yang telah terealisasi dan mana
yang belum. Adapun lima hal yang menjadi janji Pemerintahan Presiden Jokowi di
bidang ketenagakerjaan yaitu memperhatikan permasalahan outsourcing,
meningkatkan profesionalisme, menaikkan gaji dan kesejahteraan PNS, TNI dan
Polri, menjadikan perangkat desa sebagai pegawai negeri sipil (PNS), menurunkan
pengangguran dengan menciptakan 10 juta lapangan kerja baru selama lima tahun,
menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan di sektor pertanian, perikanan, dan
manufaktur. Dari kelima Janji tersebut terkait dengan regulasi ketenagakerjaan
saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yaitu permasalahan
outsourcing, menciptakan lapangan pekerjaan baru.
Permasalahan Outsourcing
Permasalahan outsourcing sepertinya
sulit untuk terselasaikan. Sulitnya pengawasan terhadap perusahaan penyedia
jasa dalam menentukan Upah merupakan isu populer terkait Outsourcing ini. Entah itu kurangnya sumber daya manusia
ataupun memang perusahaan yang tidak taat hukum meskipun Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 telah memperkuat kedudukan pekerja Outsourcing
dalam hal pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja / buruh ( Transfer of
Undertaking Protection of Employment atau TUPE) sehingga pekerja/buruh harus
tetap mendapatkan perlindungan atas hak-haknya yang perusahaanya diambil alih
oleh perusahaan lain, selain itu untuk menghindari perbedaan hak antara pekerja
pada perusahaan pemberi kerja dengan pekerja outsourcing yang melakukan
pekerjaan yang sama persis dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja, maka
perusahaan pemberi kerja tersebut harus mengatur agar pekerja outsourcing tersebut
menerima fair benefits and welfare tanpa didiskriminasikan dengan
pekerja pada perusahaan pemberi kerja sebagaimana ditentukan dalam pasal 65
ayat (4) juncto pasal 66
ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.
Menciptakan Lapangan Pekerjaan Baru
Janji pemerintahan Presiden Jokowi
dalam waktu empat tahun adalah menciptakan 10 juta lapangan pekerjaan telah
diklaim oleh Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri mencapai target sebanyak 10.340.690 dan ditargetkan penciptaan lapangan kerja
baru sebanyak 2 juta di tahun 2019. Klaim ini tidak dibenarkan oleh pihak
serikat pekerja, menurut Said Iqbal Presiden KSPI (2019) mengenai penciptaan
lapangan kerja sebagai berikut:
“...pemerintah menggunakan definisi dari Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa
yang dimaksud dengan pekerja adalah orang yang bekerja satu jam dalam sepekan.
Definisi tersebut tidak tepat untuk diklaim dalam pencapaian pemerintah. Sebab,
status pekerja tersebut lebih banyak berasal dari sektor informal. Gaji yang
mereka miliki pun masih jauh di bawah standar upah minimum regional (UMR)....”
Hal ini justru menimbulkan
kebingungan ke publik karena pihak pemerintah sampai saat ini belum pernah
melakukan klarifikasi terhadap bantahan tersebut. Persoalan terkait lapangan
pekerjaan baru terkait pula dengan rencana revolusi industri 4.0 dalam hubungan
industrial yang belum memiliki dasar hukum yang mumpuni dan apabila diterapkan
akan terjadi pemutusan hubungan kerja besar-besaran di berbagai sektor.
Isu Ketengakerjaan Tahun 2019
Isu terkini, pada tahun 2019 dari
versi Menteri Ketenagakerjaan dan kalangan pekerja dirangkum menjadi sebagai
berikut :
No.
|
Versi Pemerintah
(sumber: hukumonline.com)
|
Versi Labor Institute
Indonesia
(sumber:
neraca.co.id)
|
1.
|
Penciptaan 2 juta lapangan kerja baru |
Pemutusan hubungan kerja akibat digitalisasi atau
omotomatisasi |
2.
|
Membangun SDM dengan anggaran Rp5,785
triliun |
Informalisasi tenaga kerja. |
3.
|
Perlindungan buruh migran Indonesia |
BPJS |
4.
|
Jaminan sosial untuk tenaga kerja |
Masih tingginya
kecelakaan dan Keselamatan dan Kesehatan kerja
(K3) |
5.
|
Pengawasan ketenagakerjaan |
Outsourcing |
6.
|
Revisi UU Ketenagakerjaan |
|
Jika dicermati, bahwa muncul lima
isu baru yaitu perlindungan buruh migran, jaminan sosial untuk tenaga kerja
(BPJS), pengawasan ketenagakerjaan, revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan,
pemutusan hubungan kerja akibat digitalisasi atau omotomatisasi.
Menurut penulis, skala prioritas
dalam menyelesaikan isu ketenagakerjaan di tahun 2019 adalah pertama, memastikan bahwa benar-benar
lapangan kerja baru hadir di tengah-tengah masyarakat sehingga menjadi jalan
keluar apabila telah di implementasikan revolusi industri 4.0 dalam hubungan industrial.
Pemerintah sebaiknya bersinergi dengan kalangan pengusaha dan pekerja untuk
meyelesaikan berbagai isu tersebut.
Kedua, revisi Undang-Undang
Ketenagakerjaan sesegera mungkin dilakukan demi menyesuaikan revolusi industri
4.0 dalam hal hubungan industrial yang sebelum di implementasikan. Hal ini harus
dilakukan agar tetap menjaga semangat pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Ketiga, memperkuat pengawasan BPJS, BPJS
muncul dengan prinsip gotong royong, sehingga tidak ada salahnya masyarakat
dapat dimungkinkan dalam Undang-Undang BPJS untuk berpartisipasi dalam
pengawasan fungsi BPJS baik BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan sehingga
sebelum muncul suatu kebijakan dari BPJS, hal tersebut sudah di konsultasikan
terlebih dahulu kepada masyarakat.
Keempat, pengawasan
ketenagakerjaan, jika merujuk Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, pasal 179 ayat
(1), menyebutkan Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 178 pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib
menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.
Menteri Ketenagakerjaan harus lebih transparan ke masyarakat mengenai laporan
pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan yang telah disampaikan sehingga dapat
dilihat, dinilai serta dikoreksi sehingga pengawasan ketenagakerjaan selaras,
serasi dan seimbang dengan pembangunan ketenagakerjaan.
Kelima, revisi Undang-Undang
Ketenagakerjaan, perlunya mengakomodir berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi
yang menimbulkan atau mempertegas norma baru dalam revisi Undang-Undang
Ketenagakerjaan. Ini penting bagi perkembangan Hukum Ketenagakerjaan yang
selalu mengikuti perkembangan jaman. Disamping itu, revisi Undang-Undang
Ketenagakerjaan ini sekaligus dapat dilakukan menyesuaikan dengan implementasi
revolusi industri 4.0 tanpa mengurangi nilai-nilai yang terkandung dalam
pembangunan ketenagakerjaan.
Keenam, pemutusan
hubungan kerja akibat digitalisasi atau omotomatisasi, alasan pemutusan
hubungan kerja model seperti ini tidak diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 sehingga apabila perusahaan yang melakukan hal tersebut maka hal ini
merupakan kesewenang-wenangan terhadap pihak pekerja. Pemerintah perlu membantu mengambil langkah
strategis yang sama-sama menguntungkan bagi pihak pengusaha dan pekerja. Namun
demikian, apabila Perselisihan Hubungan Industrial tidak bisa dihindari, maka
wajib dilaksanakan sesuai dengan pasal 136 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun
200, yaitu Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan
oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara
musyawarah untuk mufakat; ayat (2), Dalam hal penyelesaian secara musyawarah
untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha
dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang diatur dengan undang-undang.
Ketujuh, belum semua
perusahaan atau pemberi kerja menerapkan sistem kerja kontrak atau Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana yang telah jelas diatur dalam Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 pasal 59 ayat (1):
Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut
jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu,
yaitu:
a.
Pekerjaan yang sekali selesai atau yang
sementara sifatnya;
b.
Pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya
dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c.
Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d.
Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru,
kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Dan
ditambahkan dalam pasal 59 ayat (4) bahwa Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Namun
kenyataannya hal tersebut di atas belum terimplementasi oleh perusahaan atau
pemberi kerja, padahal konsekuensi hukumnya atas pelanggaran tersebut maka
sistem kerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) batal demi
hukum dan berubah secara otomatis menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
(PKWTT) atau dengan kata lain pekerja terkait otomatis demi hukum, berubah
statusnya dari pekerja dengan sistem kerja kontrak tersebut (pekerja
kontrak/karyawan kontrak) menjadi pekerja tetap/karyawan tetap.
Kedelapan, penerapan
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang secara aktual dan nyata belum sepenuhnya
terimplementasi dengan baik dan benar sebagaimana yang telah diatur dalam pasal
87 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juncto Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun
2012 Tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Hal ini
dapat terlihat dengan masih adanya kecelakaan kerja yang terjadi di tempat
kerja