Setiap orang pasti menginginkan terjadinya
suatu Perkawinan. Tidak ada yang tidak ingin hidup menyendiri terkecuali
apabila memiliki alasan atau tujuan khusus. Berbicara mengenai
Perkawinan tentunya kita harus mengetahui terlebih dahulu pengertian
serta tujuan dari Perkawinan itu sendiri. Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pengertian serta tujuan mengenai
Perkawinan tercantum didalam Pasal 1 yang berbunyi :
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.”
Tujuan dari Perkawinan pun tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 3, yang berbunyi :
“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.”
Namun terkadang apa yang menjadi tujuan dari Perkawinan
yang telah disebutkan diatas justru berbanding terbalik dengan realita
atau kenyataannya, tidak sedikit didalam suatu Perkawinan muncul
konflik-konflik yang berkepanjangan dimana dapat menimbulkan putusnya
suatu Perkawinan. Didalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan mengatakan :
“Perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian,
b. Perceraian, dan
c. atas keputusan Pengadilan.”
Perceraian adalah sebuah peristiwa hukum dimana dapat
dipastikan menimbulkan akibat hukum, yakni timbulnya Hak Asuh Anak lalu
Harta Bersama atau Harta Gono Gini. Yang memprihatinkan adalah bahwa
dari tahun ke tahun terdapat kenaikan angka terhadap Perceraian yang
sangat signifikan sekali.
Sekilas mengenai Hak Asuh Anak, dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa :
“Dalam hal terjadinya perceraian :
a. pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan
kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya;
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”
Lalu mengenai Harta Bersama, dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan mengenai Harta Bersama, yakni
dalam Pasal 35 yang berbunyi :
“(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri
dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain.”
Perkawinan itu sendiri memiliki 2 (dua) sifat yakni
monogami dan poligami. Monogami itu sendiri berasal dari bahasa Yunani,
yakni “monos” yang berarti satu dan “gamos” yang berarti
perkawinan jadi monogami dapat diartikan pernikahan seseorang yang hanya
pada satu pernikahan dan hanya memiliki seorang isteri.
Sedangkan poligami itu sendiri mengutip dari buku “Fiqih Munakahat” karangan
Abdul Rahman Ghozali, kata poligami itu terdiri dari dua kata yakni
“poli” dan “gami”, dimana secara etimologi “poli” berarti banyak dan
“gami” berarti isteri dan secara terminologi, poligami yaitu seorang
laki-laki mempunyai lebih dari satu isteri atau seorang laki-laki
beristeri lebih dari seorang tetapi dibatasi paling banyak 4 (empat)
orang. Dalam bahasa Yunani, poligami itu sendiri terdiri dari “polus” yang berarti banyak dan “gamos” yang berarti perkawinan.
Di Indonesia sendiri Perkawinan dapat dikatakan bersifat
monogami, sebagaimana tercantum didalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi
“(1) Pada asasnya seorang pria hanya memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.”
Akan tetapi asas monogami dalam pasal diatas ini tidak
bersifat mutlak, yang berarti hanya memberikan pengarahan pada
pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan
mempersempit praktek poligami dan bukan menghapus praktek poligami itu
sendiri.
Secara yuridis formal, Poligami diatur didalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum
Islam dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Patut diperhatikan bahwa Poligami itu sendiri memiliki
beberapa ketentuan persyaratan yang harus dipenuhi karena pada
kenyataannya di Indonesia ini tidak sedikit yang melakukan poligami
dengan “diam-diam” dan kebanyakan poligami dilakukan bukan di hadapan
Pengadilan.
A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan :
“(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih
dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang
ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat
tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.”
Lalu dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan :
“(1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus
memenuhi syarat-syarat berikut :
a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a
pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kabar dari
isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena
sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim
Pengadilan.”
B. Kompilasi Hukum Islam
Dalam Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam menyatakan :
“(1) Beristeri lebih satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
(2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.”
Kemudian dalam Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam menyatakan :
“(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1)
dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua,
ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai
kekuatan hukum.”
Pemaparan yang telah diuraikan diatas berlaku untuk semua
kalangan masyarakat tidak terkecuali kalangan masyarakat yang termasuk
kedalam ruang lingkup anggota Pegawai Negeri Sipil (PNS) serta khususnya
kalangan masyarakat yang beragama Islam sedangkan untuk yang beragama
non-Islam berlaku peraturan yang berbeda namun tetap mengacu kepada
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Bagi kalangan masyarakat yang termasuk kedalam ruang
lingkup anggota PNS, maka berlaku aturan tambahan yakni Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
bagi Pegawai Negeri Sipil. Dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1990 menyatakan :
“(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat.
(3) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis.
(4) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari
permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang.”
Bagi kalangan PNS pun berlaku beberapa syarat yang harus
dipenuhi apabila ingin melakukan praktek Poligami, sebagaimana tercantum
dalam ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, yang
menyatakan:
“(1) Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya
dapat diberikan oleh Pejabat apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah
satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal ini;
(2) Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
(3) Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah:
a. ada persetujuan tertulis dari isteri;
b. Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan
mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang
isteri dan anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak
penghasilan; dan
c. ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil
yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anaknya.
(4) Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila:
a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut oleh Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;
b. tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dari ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3);
c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau
e. ada kemungkinan menganggu pelaksanaan tugas kedinasan.”
Bagi kalangan Pegawai Negeri Sipil berlaku sanksi apabila
melanggar ketentuan yang berlaku sebagaimana telah disebutkan di atas,
yakni dalam Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang
Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil menyatakan :
“(1) Pegawai Negeri Sipil yang melanggar salah satu
atau lebih kewajiban/ketentuan Pasal 2 ayat (1), ayat (2), Pasal 3 ayat
(1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 14, tidak melaporkan perceraiannya dalam
jangka waktu selambat-lambatnya satu bulan terhitung mulai terjadinya
perceraian, dan tidak melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat
dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak
perkawinan tersebut dilangsungkan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin
berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang
Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.”
Namun perlu diketahui bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 30
Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil telah dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Pasal 50 Peraturan Pemerintah
Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Adapun yang
menjadi jenis hukuman disiplin berat yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(4) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai
Negeri Sipil yang menyatakan :
“(4) Jenis hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari:
a. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun;
b. pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah;
c. pembebasan dari jabatan;
d. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; dan
e. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.”
Diatas telah disinggung sedikit mengenai kecenderungan yang
terjadi di Indonesia mengenai praktek Poligami yang dilakukan dengan
cara “diam-diam”. Mengacu oleh karena sikap yang “diam-diam” tersebut
maka dapat diasumsikan bahwa terjadi pelanggaran dalam
ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan
yang telah diuraikan sebelumnya.
Kecenderungan praktek Poligami yang dilakukan secara
“diam-diam” ini tidak sedikit terjadi di Indonesia, dimana suatu
perkawinan yang pertama masih secara sah tercatatkan di mata hukum namun
tanpa menghiraukan syarat2 yang berlaku melakukan perkawinan
kedua/ketiga/keempat. Dengan demikian dapat dikatakan terjadi sebuah
peristiwa hukum yakni menyembunyikan identitas Perkawinan.
Oleh karena itu perbuatan tersebut dapat dijerat Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan :
“(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun :
1.barangsiapa mengadakan perkawinan padahal
mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan yang telah ada
menjadi penghalang yang sah untuk itu;
2. barangsiapa mengadakan perkawinan padahal
mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain
menjadi penghalang untuk itu.
(2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat
(1) butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah
ada menjadi penghalang yang sah untuk itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
(3) Pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1-5 dapat dinyatakan."
Namun dalam hal penjeratan dengan pasal ini terhadap
perbuatan tersebut harus dipahamj terlebih dahulu apakah masuk kedalam
beberapa unsur yang ada dalam pasal ini atau tidak. Dalam pasal 279
terdapat unsur sebagai berikut :
1. Unsur subyektif yakni “barangsiapa”;
2. Unsur obyektif yang terdiri dari 4 (empat) macam yakni :
a. Mengadakan perkawinan;
b. Mengetahui perkawinan-perkawinannya yang telah ada;
c. Mengetahui perkawinan-perkawinan pihak lain;
d. Adanya penghalang yang sah.
Pada pasal 279 ini menjelaskan tentang tindak pidana yang
dilakukan dengan sengaja melakukan perkawinan yang kedua dan dimaksudkan
tidak memberitahukan perkawinan yang kedua pada perkawinan yang pertama
yang masih bersifat sah di mata hukum (belum terjadinya suatu
perceraian atau putusnya perkawinan).
Menurut buku “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal” karangan
R. Soesilo, menjelaskan bahwa suatu syarat supaya orang dapat dihukum
menurut pasal ini ialah orang itu harus mengetahui, bahwa ia dulu pernah
kawin dan perkawinan ini masih belum dilepaskan (belum ada perceraian).
Jadi dalam kesempatan ini, kamj berharap bahwa dapat
membuka sedikit mengenai ketentuan-ketentuan mengenai Perkawinan, dimana
sesungguhnya Poligami diperbolehkan hanya apabila memenuhi persyaratan
yang telah ditentukan sebagaimanan yang telah diuraikan diatas dan
apabila ternyata terbukti melanggar maka sanksi pidana menanti didepan
mata karena pada umumnya hampir sebagian besar kalangan masyarakat tidak
mengetahui sanksi pidana ini, mungkin dikarenakan kurangnya sosialisasi
mengenai sanksj hukum tersebut.
Semoga artikel ini dapat membantu meski diluar dari kata sempurna.
Penulis :
Indra, S.H (BOGOR)
Kantor Hukum :
Indra, S.H & Partners
Jl. Pahlawan Gg. Masjid No. 22 RT.04 RW.09 Kel. Empang, Kec. Bogor Selatan, Kota Bogor Jawa Barat Indonesia
HP : 0813.1061.5187 WA : 0877.8470.9450
Email : ipartnerslawoffice@gmail.com