“Kekuatan
pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta
yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah
dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu
sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan
mempertunjukkannya”
Dalam praktik, Mahkamah Agung juga telah memberikan penegasan atas bukti berupa fotocopy dari surat/dokumen, dengan kaidah hukum sebagai berikut:
“Surat
bukti fotokopi yang tidak pernah diajukan atau tidak pernah ada surat
aslinya, harus dikesampingkan sebagai surat bukti.” (Putusan MA No.:
3609 K/Pdt/1985)
Sesuai dengan pendapat dari Mahkamah Agung dalam Putusan MA No. 3609 K/Pdt/1985 tersebut, maka fotocopy dari
sebuah surat/dokumen yang tidak pernah dapat ditunjukkan aslinya, tidak
dapat dipertimbangkan sebagai alat bukti surat menurut Hukum Acara
Perdata (Vide: Pasal 1888 KUH Perdata).
Jadi, dalam hal tidak dapat ditunjukkannya dokumen asli dari fotocopy
perjanjian bawah tangan tersebut, saksi sebagai salah satu alat bukti
dapat berfungsi untuk memberikan keterangan kepada hakim, bahwa benar
pernah ada suatu kesepakatan yang dibuat secara bawah tangan oleh para
pihak yang namanya tercantum dalam fotocopy perjanjian bawah tangan tersebut, untuk memperjanjikan suatu hal tertentu (Vide Pasal 1320 Jo. 1338 KUH Perdata).
Argumentasi
mengenai hal tersebut juga telah ditegaskan oleh Mahkamah Agung dalam
Putusannya No.: 112 K/Pdt/Pdt/1996, tanggal 17 September 1998, yang
memiliki kaidah hukum sebagai berikut:
“Fotocopy surat tanpa disertai surat/dokumen aslinya dan tanpa dikuatkan oleh Keterangan saksi dan alat bukti lainnya, tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam Persidangan Pengadilan (Perdata)
Mengenai pertanyaan jumlah minimum saksi untuk membuktikan fotocopy perjanjian di bawah tangan, ada baiknya kita memperhatikan ketentuan Pasal 1905 KUH Perdata, yang berbunyi:
“Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka pengadilan tidak boleh dipercaya.”
Dari
ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam hal tidak
adanya bukti lain, selain saksi yang dapat diajukan oleh seseorang untuk
menguatkan dalilnya, maka jumlah saksi yang harus diajukan orang
tersebut adalah minimal dua orang saksi (unus testis nullus testis).
Namun
demikian, dalam praktik, ketentuan mengenai pembuktian dalam perkara
perdata tersebut dapat berkembang dan bermanuver. Misalnya dalam hal
keberadaan fotocopy dari perjanjian bawah tangan ini ternyata
diakui dan tidak disangkal oleh pihak lawan, tentunya hal ini dapat
dikualifisir sebagai pengakuan di muka hakim, yang merupakan bukti yang
sempurna (Vide: Pasal 176 HIR), atau apakah ada persangkaan (kesimpulan) yang ditarik oleh hakim (Vide: Pasal 173 HIR) dari bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak serta fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
Sumber : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51ab049c2a0d2/kekuatan-pembuktian-fotokopi-dokumen